Ini Taper Tantrum, Tsunami yang Terjang Ekonomi Tahun Depan!

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
04 June 2021 07:45
[THUMB] Indonesia Resmi Resesi!
Foto: Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian Indonesia diprediksi akan mendapat ancaman di tahun depan dari dampak dari pandemi Covid-19.

Taper tantrum merupakan salah satu ancaman yang dikhawatirkan akan terjadi di tahun depan. Hal ini juga dikatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo belum lama ini.

"Kita pernah belajar dari fenomena terdahulu seperti taper tantrum di tahun 2013, dimana ekspektasi normalisasi kebijakan moneter AS dapat mendorong pembalikan arus modal dari negara berkembang," jelas Sri Mulyani

Oleh karena itu, Sri Mulyani beserta jajarannya sudah menyiapkan beberapa instrumen dalam mengantisipasi hal tersebut dan akan tercermin di dalam RAPBN 2022.

Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (2/6/2021), Sri Mulyani juga menjelaskan beberapa risiko selain taper tantrum yang kemungkinan akan dihadapi di tahun depan.

Risiko pertama adalah beberapa negara yang melakukan pengetatan restriksi karena adanya gelombang baru covid dan munculnya varian baru.

Kedua adalah epicentrum pandemi terus bergeser sementara akses dan kecepatan vaksinasi masih belum merata. "Jadi proteksionisme meningkat," tegas Sri Mulyani. Indonesia saja baru mampu melakukan vaksinasi 300 ribu per hari, masih jauh dari target 1 juta per hari.

Risiko ketiga adalah pemulihan ekonomi yang tidak merata. Ekonomi global memang disebutkan pulih, namun ada negara yang masih resesi hingga kuartal I-2021. Salah satunya adalah Indonesia.

Risiko keempat adalah perkembangan ekonomi di Amerika Serikat (AS). Sri Mulyani menyebutkan inflasi negeri paman SAM tersebut terus menguat, bahkan mencapai 4,2% pada April 2021.

"Inflasi di AS yang sudah tembus di atas 4% akan jadi penentu stance monetary policy tahun ini dan tahun depan," paparnya.

Hal senada juga diungkapkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga mewaspadai adanya tapering off atau pengurangan stimulus berupa pembelian surat berharga di pasar surat utang yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed.

"Di pasar keuangan memang terjadi kenaikan US Treasury yield karena stimulus fiskal yang besar US$ 1,9 triliun. Ketidakpastian ini masih berlangsung meskipun sudah sedikit mereda karena kejelasan arah The Fed yang tahun ini belum akan melakukan tapering," jelas Perry

"Namun tahun depan, kita masih memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan bahwa The Fed akan mulai mengubah kebijakan moneternya, mulai mengurangi intervensi likuiditas bahkan melakukan lakukan pengetatan dan kenaikan suku bunga," kata Perry melanjutkan.

Bila bank sentral AS The Fed menaikkan suku bunga acuan tahun depan, maka dikhawatirkan bencana taper tantrum seperti yang terjadi pada 2013 silam kembali terulang. Pasar keuangan Indonesia terombang-ambing, salah satunya pelemahan nilai tukar rupiah sangat dalam terhadap dolar AS.

Salah satu langkah untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah bekerja sama dengan otoritas seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk pendalaman dan pengembangan pasar keuangan.

Terpenting, solusi yang paling ampuh dari risiko tersebut adalah Indonesia harus memastikan ekonomi segera pulih dan memperkuat reformasi.

Halaman Selanjutnya >> Ekonomi Bisa Hancur Tahun Depan?

Kalangan ekonom saat berbincang dengan CNBC Indonesia tak memungkiri bahwa taper tantrum merupakan sebuah keniscayaan, seiring dengan rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) yang secara perlahan akan mengetatkan kebijakan moneternya

"Memang siklusnya sudah terjadi sejak tahun lalu, siklus kebijakan moneter yang akomodatif," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede

enomena taper tantrum pernah terjadi pada periode 2013 - 2015, saat The Federal Reserve (The Fed) mulai menebar ancang-ancang untuk mengerek naik Federal Funds Rate.

Saat krisis keuangan global yang meruntuhkan pasar keuangan Paman Sam, The Fed memberikan stimulus besar-besaran seperti memangkas bunga acuan dan memborong surat berharga untuk kembali menggairahkan ekonomi yang lesu.

Pada 2013, tanda-tanda ekonomi AS pulih terlihat. The Fed kemudian memberikan sinyal bahwa kebijakan ultra longgar akan dihentikan. Namun dua tahun menanti, The Fed justru baru menaikkan bunga pada akhir 2015.

Dua tahun pasar keuangan dunia dilanda kegalauan lantaran ketidakpastian suku bunga acuan AS. Para investor pun mengambil posisi dengan memborong dolar sehingga saat suku bunga naik, mereka bisa meraup untung.

Permintaan dolar AS meroket, dan membuat mata uang lain melemah termasuk rupiah. Bahkan, rupiah yang kala itu berada di kisaran Rp 9.000/US$, menembus level Rp 13.000/US$ pada akhir 2015.

Namun, Josua melihat dampak dari taper tantrum tidak akan sebesar seperti 2013 lalu. Ia juga memperkirakan bank sentral AS masih akan menunggu hingga tahun depan untuk kembali menentukan arah kebijakan.

"Masih terlalu dini, karena ini lebih kepada stimulus yang sudah diberikan Amerika Serikat," jelasnya.

Josua memandang, berbagai indikator perekonomian masih menunjukkan ketahanan yang kuat dari sentimen eksternal. Misalnya dari posisi cadangan devisa yang masih tinggi, hingga defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang rendah.

"Risiko lainnya dari risiko utang terhadap PDB. Memang tahun ini diperkirakan bisa lewat dari 40%. Tapi itu pun masih relatif rendah dibandingkan posisi rasio utang PDB negara lain," jelasnya.

"Dalam hal kesiapan, saya pikir dibandingkan 2013 kondisi saat ini cenderung masih cukup baik. Artinya ketahanan fiskal kita cukup baik. Kalau kita lihat secara fundamental, mestinya kita bisa bertahan seandainya Fed memperepat normalisasi,"

Saat taper tantrum terjadi pada 2013, pasar keuangan domestik memang sempat jatuh lantaran para investor berbondong-bondong melepas sejumlah aset keuangan yang mereka miliki di Indonesia.

Namun, Josua yakin apabila taper tantrum kembali terulang, hal tersebut tidak akan berpengaruh secara signifikkan. Pasalnya, porsi kepemilikan asing terhadap surat utang pemerintah sudah jauh lebih berkurang.

"Sekarang 22%. Di akhir 2013 porsi kepemilikan asing terhadap surat utang itu 32%. Kita lihat kepemilikan asing terhadap SBN kita relatif rendah. Kalaupun ada shock, enggak sedrastis waktu itu karena investor domestik masih cukup solid," jelasnya.

Hal senada turut dikemukakan Ekonom Maybank Myrdal Gunarto. Menurutnya, dampak taper tantrum tahun depan masih dapat dimitigasi, lantaran situasi perekonomian domestik yang sebenarnya relatif terkendali.

"Kondisi likuiditas jauh lebih banyak. Kondisi real sector pelan-pelan udah jalan. Kasus Covid-19 di sini juga lebih baik dari negara tetangga. Ini momentum bagus buat tarik FDI dan bukannya hot money," jelasnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular