
Parah Amat! Borong 5 Saham Ini dalam 5 Tahun, Hasilnya Boncos

Jakarta, CNBC Indonesia - Lazimnya, kinerja suatu saham diharapkan akan cenderung bertumbuh positif dari tahun ke tahun. Bagi seorang value investor, atau investor jangka menengah dan panjang, kenaikan harga suatu saham di tiap tahunnya tentu menjadi salah satu pertimbangan penting.
Namun, ada kalanya, alih-alih moncer, kinerja suatu saham malah ambles dalam kurun waktu beberapa tahun tertentu, misalnya 5 tahun terakhir.
Nah, di bawah ini Tim Riset CNBC Indonesia akan menjelaskan secara ringkas lima contoh saham yang tidak menghasilkan cuan dalam kurun 5 tahun belakangan, berdasarkan data perdagangan hingga Senin (24/5).
Berdasarkan data di atas, saham emiten pemilik gerai department store Matahari, LPPF, menjadi yang paling ambles dengan penurunan mencapai Rp 88,89%.
Menariknya, dari lima saham di atas, hanya saham emiten BUMN Karya PTPP yang harga saat ini masih lebih tinggi dari harga saat pencatatan saham perdana (initial public offering/IPO). Saat ini harga saham PTPP di Rp 1.080/saham sementara saat IPO pada 9 Februari 2010 lalu, saham PTPP dihargai Rp 560/saham.
Adapun harga IPO LPPF pada 10 Oktober 1989 di RP 7.900, emiten migas Grup Bakri, ENRG, sebesar Rp 160 pada 7 Juni 2004. Kemudian, harga IPO emiten Grup MNC, BMTR, pada 17 Juli 1995 sebesar Rp 1.250/saham dan harga IPO saham Grup Kresna, KREN, sebesar Rp 215 pada saat IPO 28 Juni 2002.
Catatan saja, hanya saham PTPP yang tidak melakukan pemecahan nilai nominal saham (stock split) ataupun penggabungan nilai nominal saham (reverse stock split/RSS).
Sebagai gambaran, RSS adalah aksi korporasi emiten di bursa dengan menggabungkan saham-sahamnya dan menghasilkan sejumlah kecil saham yang dianggap lebih bernilai dari sebelumnya. Ini kebalikan daristock split, atau pemecahan nilai nominal saham.
Hal tersebut menunjukkan, baik RSS maupun stocksplit tidak serta-merta ikut mendongkrak performa saham.
LPPF melakukan RSS pada 9 November 2009. Sebelum melakukan RSS, saham LPPF bahkan sempat menyentuh harga Rp 168 pada 4 November 2009. Sementara, saham emiten Grup Lippo ini juga sempat menyentuh level tertinggi Rp 21.500/saham pada 27 Juli 2016. Setelah itu, harga saham LPPF terus cenderung 'menuruni bukit' hingga saat ini.
NEXT: Bagaimana dengan ENRG?
Sementara, saham ENRG pernah melakukan reverse stock, yakni pada 2 Juli 2017. Dengan rasio reverse stock 8:1, harga saham ENRG disesuaikan menjadi Rp400 dari sebelumnya Rp 50.
Namun, hari pertama setelah reverse stock harga saham ENRG runtuh 25% menjadi Rp 300 dan terus melemah hingga sempat menyentuh Rp72 pada Oktober 2017.
Adapun, BMTR sempat melakukan stock split pada 24 April 2007 dengan rasio 1 : 5. Setelah sempat menyentuh all time high pada 16 Mei 2013, di harga Rp 2.775/saham, saham ini terus cenderung bergerak turun.
Terakhir, KREN melakukan stock split pada 23 Juni 2016 dengan rasio 1: 5. Namun, setelah sempat mencapai harga tertinggi di Rp 775/saham pada 8 Juni 2018, saham ini terus melorot sampai ke harga Rp 118/saham saat ini.
Kinerja Fundamental yang Cenderung Ambles
Kinerja keuangan saham-saham di atas juga cenderung kurang menggembirakan sepanjang tahun pagebluk 2020. Hanya ENRG yang punya kinerja moncer.
Tahun lalu, LPPF mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 873,18 miliar. Kondisi ini berbalik dari tahun 2019 ketika LPPF masih mencetak laba bersih Rp 1,37 triliun.
Secara pendapatan sepanjang tahun lalu mengalami penurunan hingga 52,91% menjadi Rp 4,84 triliun, dari sebelumnya Rp 10,28 triliun.
Kemudian, PTPP membukukan penurunan laba bersih yang tajam hingga 84,28% secara tahunan (year on year/YoY).
Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan perusahaan, akhir tahun lalu laba bersih perusahaan tercatat sebesar Rp 128,75 miliar, jatuh dari posisi akhir 2019 yang senilai Rp 819,46 miliar.
Ketiga, KREN yang membukukan rugi bersih Rp 276,61 miliar per kuartal III 2020, berbalik dari sebelumnya laba bersih Rp 67,41 miliar pada 9 bulan pertama 2019.
Selanjutnya, BMTR yang mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 18,17% menjadi Rp 747,33 miliar per triwulan III 2020, dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 913,23 miliar.
Adapun ENRG berhasil mencatatkan laba bersih US$ 53,65 juta atau setara dengan Rp 751,1 miliar (kurs 14.000) di tahun pandemi2020.
Laba bersih ini naik 92% jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang sebesar US$ 28 juta atau setara Rp 392 miliar.
Meski memperoleh kenaikan laba yang cukup signifikan, selama 2020 lalu ENRGjustru mengalami penurunan pendapatan sebesar 3%. Pendapatan ini turun dari tahun 2019 sebesar US$ 334,34 juta atau setara Rp 4,68 triliun menjadi US$ 324,88 juta atau setara Rp 4,54 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Wow! Bayar Utang, Emiten Migas Bakrie Rights Issue Rp 1,8 T
