Jakarta, CNBC Indonesia - Salah satu 'raksasa' bank global yang berbasis di London, Inggris, buka suara terkait dengan kebijakan pemerintah China yang melarang lembaga keuangan dan perusahaan pembayaran untuk menyediakan layanan terkait dengan transaksi mata uang kripto.
Menurut Paul Mackel, Pimpinan Global Riset Pasar Valuta Asing (FX) di HSBC, langkah teranyar China dalam rangka memperketat aturan mata uang kripto itu sebetulnya bukan merupakan 'perkembangan baru'.
"Sudah ada pembicaraan di sana [China] selama beberapa waktu. Ini bukan perkembangan baru, sejauh yang saya ketahui, mereka lebih berhati-hati terhadap cryptocurrency," katanya dalam program CNBC 'Street Signs Asia' pada Senin (24/5).
Dia menambahkan bahwa upaya Beijing yang baru-baru ini melarang Bitcoin cs tidak bertentangan langsung dengan rencana negara tersebut untuk meluncurkan Yuan digital milik mereka sendiri, yang disebut mata uang digital Bank Sentral (Central Bank Digital Currency/CBDC) yang bertujuan guna menggantikan sejumlah uang tunai yang beredar di masyarakat.
"Saya kira tidak akan terjadi konflik dengan e-CNY (Yuan digital) ketika nanti siap diluncurkan, ini adalah mata uang digital yang sangat berbeda [dengan Bitcoin dkk]," katanya, menggunakan singkatan dari Yuan China elektronik.
"Saya pikir mungkin ada masalah lain saat ini - tingkat spekulasi, volatilitas, hingga dampak lingkungan yang mungkin timbul. Masalah-masalah ini mungkin telah lalu-lalang di kepala mereka [para pengambil kebijakan di China] akhir-akhir ini."
Komentar ahli forex HSBC ini muncul setelah Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Dewan Negara mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Jumat pekan lalu, bahwa peraturan yang lebih ketat tentang cryptocurrency perlu demi melindungi sistem keuangan negeri komunis ini.
Dengan demikian, perlu tindakan tegas terhadap penambangan Bitcoin dan perilaku perdagangan kripto ini.
Harga Bitcoin jatuh semakin dalam setelah pernyataan tersebut dirilis pada akhir pekan lalu yang penuh gejolak. Aksi jual aset kripto terus berlanjut pada hari Minggu, dan diperdagangkan pada US$ 35.040 pada Minggu siang - atau ambles 5,17% , menurut data Coindesk. Harga itu setara dengan Rp 501 juta/koin (kurs Rp 14.300/US$).
Langkah China saat ini bukanlah hal baru. Tindakan keras negara terhadap cryptocurrency mulai meningkat sejak September 2017 ketika regulator menghentikan perdagangan bitcoin di negara tersebut, dengan larangan penuh resmi dimulai 1 Februari 2018.
NEXT: Harga Reli?
Bobby Lee, pendiri dan CEO dari dompet kripto Ballet, tidak percaya bahwa harga Bitcoin akan terus menurun meskipun ada tekanan regulasi dari China. Faktanya, dia memperkirakan aset kripto akan melonjak dalam beberapa bulan mendatang.
"Bukanlah sebuah kejutan jika kami melihat [Bitcoin] naik lagi setelah tidak bergerak dari level saat ini. Kami percaya bisa mencapai US$ 100.000 atau bahkan lebih tinggi pada musim panas atau musim gugur, "katanya, dilansir CNBC International.
Dia juga mengharapkan tekanan regulasi China dapat mereda - seperti yang terjadi 4 tahun lalu.
"Pada tahun 2017 lalu, tekanan terbesar mungkin terjadi pada bulan September, ketika China mengumumkan penutupan berbagai bursa (perdagangan Bitcoin) yang beroperasi di pasar China," kata Lee, yang sebelumnya merupakan salah satu pendiri dan CEO BTC China - bursa bitcoin pertama China.
"Dan tentu saja, orang-orang mengingat dari sejarah bahwa setelah kejatuhan, Bitcoin menguat ke level tertinggi sepanjang masa sebesar US$ 20.000 - meningkat lebih dari lima kali lipat harganya," tambahnya.
HSBC Limited (The Hongkong and Shanghai Banking Corporation) merupakan anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh HSBC Holdings plc, bank investasi multinasional Inggris, perusahaan induk jasa keuangan yang merupakan bank terbesar di Eropa, dengan total aset US$ 2,984 triliun (per Desember 2020).
Bobby Lee adalah salah satu pendiri dan mantan CEO bursa kripto yang berbasis di China BTC China dan pendiri dan CEO dari startup dompet crypto Ballet. Lee juga merupakan anggota dewan direksi Bitcoin Foundation dan merupakan saudara dari pencipta litecoin (LTC) Charlie Lee.
Harga Bitcoin mengalami penurunan tajam. Harga Mother of Cryto, julukannya, setidaknya turun hingga 8,5% lebih di satu level setelah pemerintah China menegaskan akan menindak penambang dan perdagangan mata uang kripto.
Sebelumnya, Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Dewan Negara mengatakan bahwa dibutuhkan regulasi yang lebih ketat untuk melindungi sistem keuangan.
Tak hanya penambangan, sebelumnya badan pemerintah telah melarang lembaga keuangan dan perusahaan pembayaran untuk menyediakan layanan yang terkait dengan transaksi mata uang kripto. Negara ini bahkan telah memperingatkan investor agar tidak melakukan perdagangan mata uang kripto yang dianggap pemerintah spekulatif.
Di sisi lain, tak hanya HSBC yang bersuara soal Bitcoin cs. Dalam catatan yang diterbitkan Kamis (205/2021), analis Deutsche Bank juga ikut membahas fenomena aset kripto ini dalam kajian berjudul "Bitcoin: Trendy adalah Tahap Terakhir Sebelum Jadi Norak," mengutip kalimat dari mendiang Karl Lagerfeld, sang ikon mode asal Jerman yang meninggal dunia pada Februari 2019.
Marion Labouré, Macro Strategist Thematic Research, dari Deutsche Bank menilai bahwa tren yang terjadi pada dunia fashion dan gaya hidup kemungkinan besar sudah terjadi pada Bitcoin dkk saat ini.
Seperti tren mode yang bisa muncul secara tiba-tiba dan berganti tren, alat tukar digital ini, katanya, pun berpotensi menjadi bagian dari masa lalu.
Menurut estimasi Labouré sesuatu memang telah terjadi di pasar mata uang kripto dalam 3 bulan terakhir.
"Yang dibutuhkan kripto untuk menjadi 'tidak trendy' lagi [ambruk hanya dalam waktu sesaat] adalah satu tweet dan pernyataan pemerintah China," tulisnya, dikutip CNBC dan YahooFinance, Senin (25/5/2021).
Menurut Labouré, kapitalisasi pasar Bitcoin yang US$ 1 triliun membuatnya tidak mungkin untuk diabaikan, tetapi terbatasnya penggunaan dalam bertransaksi memantik perdebatan apakah kenaikan valuasi saja dapat menjadi alasan yang cukup bagi Bitcoin untuk berevolusi menjadi sebuah aset, atau likuiditasnya yang terbatas akan menjadi rintangan ke depan.
Inilah mengapa Labouré mengatakan "nilai bitcoin sepenuhnya didasarkan pada angan-angan."
"Nilai Bitcoin akan terus naik dan turun tergantung pada apa yang orang yakini layak," sebuah fenomena yang menurut Labouré disebut "efek Tinkerbell," karena kepercayaan itu penting.