Internasional

Deutsche Bank: Harga Bitcoin Cs Cuma Didasari Angan-angan!

Ferry Sandria, CNBC Indonesia
24 May 2021 06:40
Deutsche Bank
Foto: Deutsche Bank (REUTERS/Simon Dawson)

Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi jual besar-besaran sedang melanda pasar uang kripto global setelah pengumuman baru dari pemerintah China soal larangan cryptocurrency dan cuitan bos pabrikan mobil listrik Tesla Inc, Elon Musk.

Harga 'mata uang' kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar yakni Bitcoin pun anjlok dalam sepekan terakhir, berjamaah dengan koin-koin lainnya. Melansir dari Coinmarketcap, harga bitcoin merosot lebih dari 18% dalam sepekan terakhir.

Koin kripto ini pun mulai 'tidak disayangi' oleh para pelaku pasar di bursa Wall Street AS sehari setelah CIO UBS Mark Haefele mempertanyakan apakah perlu investor memiliki Bitcoin dalam portofolio investasi mereka.

Dalam catatan yang diterbitkan Kamis (205/2021), analis Deutsche Bank juga ikut membahas fenomena aset kripto ini dalam kajian berjudul "Bitcoin: Trendy adalah Tahap Terakhir Sebelum Jadi Norak," mengutip kalimat dari mendiang Karl Lagerfeld, sang ikon mode asal Jerman yang meninggal dunia pada Februari 2019.

Marion Labouré, Macro Strategist Thematic Research, dari Deutsche Bank menilai bahwa tren yang terjadi pada dunia fashion dan gaya hidup kemungkinan besar sudah terjadi pada Bitcoin dkk saat ini.

Seperti tren mode yang bisa muncul secara tiba-tiba dan berganti tren, alat tukar digital ini, katanya, pun berpotensi menjadi bagian dari masa lalu.

Menurut estimasi Labouré sesuatu memang telah terjadi di pasar mata uang kripto dalam 3 bulan terakhir.

"Yang dibutuhkan kripto untuk menjadi 'tidak trendy' lagi [ambruk hanya dalam waktu sesaat] adalah satu tweet dan pernyataan pemerintah China," tulisnya, dikutip CNBC dan YahooFinance, Senin (25/5/2021).

Pada 12 Mei lalu Elon Musk mencuit bahwa Tesla berhenti menerima Bitcoin sebagai alat pembayaran untuk transaksi mobl Tesla karena alasan faktor lingkungan.

"Tesla telah menangguhkan pembelian kendaraan menggunakan Bitcoin. kami prihatin dengan peningkatan pesat penggunaan bahan bakar fosil untuk penambangan dan transaksi Bitcoin, terutama batu bara, yang memiliki emisi terburuk dari bahan bakar apa pun," cuit Elon Musk di Twitter.

Cuitan tersebut membuat harga Bitcoin yang beberapa hari sebelumnya nyaris berada di sekitaran US$ 60.000/koin atau setara Rp 848 miliar (kurs Rp 14.300/US$) turun ke posisi terrendah dari menjadi US$ 48.000, dan di satu waktu Bitcoin sempat berada sedikit di atas US$ 30.000 atau Rp 429 miliar, terendah sejak Januari.

Pergerakan Harga Bitcoin/CNBCFoto: Pergerakan Harga Bitcoin/CNBC
Pergerakan Harga Bitcoin/CNBC

Menurut Labouré, kapitalisasi pasar Bitcoin yang US$ 1 triliun membuatnya tidak mungkin untuk diabaikan, tetapi terbatasnya penggunaan dalam bertransaksi memantik perdebatan apakah kenaikan valuasi saja dapat menjadi alasan yang cukup bagi Bitcoin untuk berevolusi menjadi sebuah aset, atau likuiditasnya yang terbatas akan menjadi rintangan ke depan.

Inilah mengapa Labouré mengatakan "nilai bitcoin sepenuhnya didasarkan pada angan-angan."

"Nilai Bitcoin akan terus naik dan turun tergantung pada apa yang orang yakini layak," sebuah fenomena yang menurut Labouré disebut "efek Tinkerbell," karena kepercayaan itu penting.

Balasan investor kripto yang umum adalah "terus bagaimana dengan fiat (uang kertas)," dan meskipun pemerintahlah yang menjadikan dolar dapat diterima, uang kertas atua fiat memiliki banyak kekuatan dan terus relevan hingga saat ini, terutama dalam transaksi.

Terutama karena bank sentral dan pemerintah kemungkinan akan mulai mengatur crypto pada awal tahun depan - serta berpotensi meluncurkan mata uang digital mereka sendiri, seperti yang akan dilakukan bank sentral AS Federal Reserve atau mata uang digital dari pemerintah China.

Labouré mengatakan masa depan aset digital jangka menengah dan panjang tidak pasti, dan akan membutuhkan waktu lama untuk pembayaran kripto apa pun untuk mendapatkan daya tarik yang lebih luas. Sementara itu, bitcoin "akan beredar dan nilainya tetap tidak stabil."

Menurut perkiraan Deutsche Bank, 30% dari aktivitas bitcoin adalah untuk pembayaran dan sisanya sebagai "investasi keuangan".

Berbeda dengan apa yang mungkin ditunjukkan oleh volatilitasnya, total likuiditas Bitcoin tidak terlalu tinggi. Tahun lalu, volume perdagangan saham Apple adalah 270% dari jumlah sahamnya; untuk Bitcoin jumlahnya 150%.

Selain Musk dan China, ini adalah alasan lain mengapa cryptocurrency tetap tidak stabil.

"Karena terbatasnya perdagangan bitcoin, diharapkan akan tetap sangat mudah berubah [harganya]; beberapa tambahan aksi beli dan jual dari pasar pelaku pasar dapat secara signifikan mempengaruhi keseimbangan penawaran-permintaan, "tulis Labouré. "Akar penyebab volatilitas [harga] Bitcoin termasuk penempatannya menjadi aset taktis kecil, dan masuk-keluarnya fund-fund manager besar.

Penurunan harga uang kripto dengan kapitalisasi pasar ini dipicu kebijakan keras China yang melarang lembaga keuangan seperti bank dan fintech pembayaran untuk menyediakan layanan transaksi uang kripto. China juga mengingatkan investor agar tidak memperdagangkan uang kripto spekulatif.

NEXT: Tekanan Bank Sentral

Ketua Federal Reserve (the Fed) Jerome Powell melihat mata uang digital sebagai pelengkap dolar, dan apa pun yang dilakukan the Fed akan memengaruhi pasar kripto.

Di China, pemerintah mengambil pendekatan yang lebih agresif terhadap Bitcoin, untuk memberi ruang bagi mata uang digital miliknya China sendiri.

"Jelas bahwa tindakan regulasi yang ditargetkan China dirancang untuk mendukung peluncuran mata uang digitalnya (CBDC)," tulis Labouré.

Jangan lupa, dalam catatan Deutsche Bank, keperkasaan pemerintah dalam regulasi kripto terlihat pada nasib Libra, mata uang digital miilk Facebook yang diumumkan pada tahun 2019 sebagai mata uang global futuristik yang akan mengakibatkan pemerintah memiliki lebih sedikit kendali atas pasokan uang mereka.

Kini Facebook mengubah rencananya untuk mata uang digital itu, tidak seambisius dulu.

Produk Libra ini kini berfokus pada pengurangan biaya pembayaran, bukannya bersaing dengan pemerintah dan bank sentral dengan menciptakan alat pembayaran paralel.

Dengan kata lain, Facebook tidak berencana membuat mata uang pesaing terhadap dolar; sebaliknya, mereka berharap dapat bersaing dengan cara tradisional untuk membayar dalam dolar," tulis Labouré.

Ini, bisa menjadi kacamata terbaik untuk melihat krypto, katanya - bukan sebagai aset spekulatif melainkan solusi fintech untuk pembayaran global yang lebih cepat dan lebih murah.

"Pada akhirnya, mengatur cryptocurrency tidaklah sesulit itu," tulisnya.

Dia mencatat bahwa pemerintah akan agresif melindungi monopoli fiskal mereka terhadap penggunaan mata uang, bahkan jika mereka membiarkan crypto terus berjalan itu pun karena alasan inovasi untuk waktu yang lama.

Jika mentalitas 'jika tidak bisa mengalahkan, maka ikut bergabung saja' kembali terjadi seperti Libra, isu transaksi bitcoin mungkin akan ditinggalkan dan hanya menjadi aset digital yang memberikan lebih banyak utilitas.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular