Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah sepanjang pekan ini. Seretnya arus modal yang mengalir ke pasar keuangan Ibu Pertiwi membuat rupiah kekurangan 'bensin' untuk melaju di jalur hijau.
Sepanjang pekan ini, nilai tukar rupiah melemah 1,09% secara point-to-point di hadapan dolar AS di perdagangan pasar spot. Mengawali pekan ini bawah Rp 14.200/US$, rupiah berakhir di atas Rp 14.300/US$.
Rupiah tidak sendirian, sejumlah mata uang Asia pun terdepresiasi di hadapan dolar AS pekan ini. Won Korea Selatan melemah 0,16%, ringgit Malaysia 0,39%, peso Filipina 0,34%, dan dolar Taiwan 0,01%. Namun memang depresiasi yang lebih dari 1% membuat rupiah jadi yang terlemah di Benua Kuning.
Minimnya sokongan arus modal membuat rupiah tidak bisa berbuat banyak. Di pasar saham, investor asing mencatatkan jual bersih Rp 460 miliar.
Di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) surat utang seri acuan tenor 10 tahun naik 11,4 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga obligasi sedang turun karena minimnya permintaan atau terpapar aksi jual.
Pekan ini, pemerintah tidak melakukan lelang Surat Berharga Negara (SBN) sehingga wajar permintaan berkurang. Namun haru diakui aksi jual juga melanda pasar SBN.
Per 20 Mei 2021, nilai kepemilikan asing di SBN tercatat Rp 953,32 triliun. Turun Rp 1,04 triliun dibandingkan posisi awal pekan.
Halaman Selanjutnya --> Pasokan Valas Tak Lagi Melimpah
Dari sisi fundamental, pelemahan rupiah bisa dimaklumi. Pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa atau transaksi berjalan (current account) memang tidak sebanyak dulu lagi.
Pada kuartal III dan IV tahun lalu, transaksi berjalan Indonesia berhasil membukukan surplus untuk kali pertama sejak 2011. Namun seiring impor yang kembali deras seiring pemulihan aktivitas ekonomi, transaksi berjalan kembali ke zona defisit.
Pada kuartal I-2021, neraca barang memang masih surplus US$ 7,91 miliar. Namun sudah tidak bisa menutup defisit di neraca jasa (-US$ 3,42 miliar) dan pendapatan primer (6,92 miliar). Jadilah transaksi berjalan kembali ke zona defisit yaitu minus US$ 996,83 juta atawa 0,36% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Sejalan dengan kinerja ekspor yang positif dan permintaan domestik yang melanjutkan perbaikan, kinerja impor juga meningkat cukup tinggi sehingga menahan surplus neraca barang lebih lanjut. Sementara itu, defisit neraca jasa meningkat, antara lain disebabkan oleh defisit jasa transportasi yang melebar akibat peningkatan pembayaran jasa freight seiring kenaikan impor barang. Di sisi lain, defisit neraca pendapatan primer tercatat lebih rendah dibandingkan dengan capaian pada triwulan sebelumnya sejalan dengan penurunan pembayaran kupon dan dividen investasi portofolio," papar keterangan tertulis Bank Indonesia (BI).
Transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi nilai tukar mata uang karena menggambarkan ketersediaan devisa dari pos yang lebih berdimensi jangka panjang yaitu perdagangan. Berbeda dengan transaksi modal dan finansial, yang walau sama-sama mencerminkan pasokan valas, tetapi yang ini kebanyakan datang dari investasi portofolio di sektor keuangan alias hot money. Sifat hot money tidak berjangka panjang, bisa datang dan pergi kapan saja.
Jadi, saat ini Indonesia sudah tidak punya kemewahan limpahan pasokan valas dari perdagangan. Dengan ekonomi yang semakin membaik, impor akan semakin deras sehingga meningkatkan kebutuhan valas di dalam negeri. Saat kebutuhan valas naik, otomatis rupiah akan tertekan.
TIM RISET CNBC INDONESIA