'Setan' Inflasi Datang Lagi, S&P 500 dan Nasdaq Kepleset

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 May 2021 06:40
Financial Markets Wall Street
Ilustrasi Bursa Saham AS (AP/Courtney Crow)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) berakhir variatif cenderung melemah pada perdagangan hari ini. Lagi-lagi kekhawatiran soal inflasi menghantui benak investor di New York.

Pada perdagangan yang berakhir Sabtu (22/5/2021) dini hari waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,37% ke 34.208,9. Akan tetapi S&P 500 terkoreksi tipis 0,07% menjadi 4.156,08 dan Nasdaq Composite berkurang 0,48% menjadi 13.470,99.

DJIA berhasil finis di zona hijau karena diangkat saham Boeing yang melonjak 3,15%. Sejumlah sumber membisikkan kepada Reuters bahwa Boeing tengah membikin rencana untuk mempercepat produksi pesawat 737 MAX sebanyak 42 unit pada musim gugur 2022.

Namun yang membuat S&P 500 dan Nasdaq merosot adalah data aktivitas manufaktur terbaru di Negeri Paman Sam. IHS Markit melaporkan pembacaan awal (flash reading) terhadap aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) pada Mei 2021 berada di 61,5. Naik dibandingkan angka April 2021 yang sebesar 60,5 sekaligus menjadi rekor tertinggi sejak pencatatan dilakukan oleh IHS Markit pada Oktober 2009.

"Ekonomi AS terpantau mengalami akselerasi yang spektakuler pada bulan ini, tingkat ekspansi bisnis melonjak ke titik tertinggi seiring aktivitas masyarakat yang dibuka kembali usai ditutup karena pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Pertumbuhan ini bahkan bisa lebih tinggi andai dunia usaha tidak kesulitan mencari tenaga kerja. Dengan dunia usaha yang optimistis, permintaan yang terus tumbuh baik domestik maupun ekspor, ini adalah panggung untuk pertumbuhan ekonomi yang kuat hingga musim panas.

"Namun, survei Mei menunjukkan kekhawatiran lebih jauh soal inflasi karena pertumbuhan menyebabkan kenaikan harga. Rata-rata harga barang dan jasa naik ke level yang tidak terduga, yang kemungkinan akan tercermin di angka inflasi pada bulan-bulan mendatang," papar Chris Williamson, Chief Business Economist IHS Markit, seperti dikutip dalam siaran tertulis.

Halaman Selanjutnya --> Suku Bunga Acuan Bakal Naik?

Ya, 'hantu' inflasi datang lagi. Apa boleh buat, kalau permintaan tinggi, mau tidak mau pasti akan berujung kepada inflasi.

Hal yang dikhawatirkan investor di Wall Street adalah percepatan laju inflasi akan direspons oleh bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) dengan menaikkan suku bunga. Bisa saja kenaikan Federal Funds Rate akan terjadi lebih cepat, bukan 2023 seperti yang diduga selama ini.

Mengutip CME FedWatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 0,25-0,5% pada akhir tahun ini adalah 7,6%. Memang masih cukup rendah, tetapi angkanya semakin menebal.

fedSumber: CME FedWatch

Saat suku bunga acuan naik, maka suku bunga di level perbankan akan mengikuti. Artinya, biaya ekspansi bagi emiten di Wall Street akan lebih mahal sehingga menggerus laba. Ini tentu menjadi kekhawatiran investor.

Satu lagi, kenaikan suku bunga acuan akan diikuti oleh kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah. So, instrumen ini bakal 'seksi' lagi dan memalingkan mata investor dari pasar saham.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Wall Street Menguat Setelah 3 Hari Jeblok, tapi PHP Gak Nih?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular