
Hotel-hotel Diobral Murah, Saham Emiten Hotel pun Nyungsep!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 memang benar-benar memukul perekonomian, tak terkecuali industri parawisata dan perhotelan Tanah Air. Pembatasan pergerakan orang-orang akibat pagebluk yang dimulai sejak Maret tahun lalu ini membuat banyak hotel terpaksa membatasi atau menghentikan operasi dan bahkan tidak sedikit pula yang dijual di toko online.
Semakin hari, semakin banyak ditemukan hotel-hotel di kota-kota besar dan tujuan wisata yang tutup dan 'diobral', mulai dari Bandung, Yogyakarta sampai Pulau Dewata Bali.
Melihat situasi yang tidak menggembirakan ini, lantas, bagaimana dengan kinerja saham-saham emiten pengelola hotel dalam sebulan dan secara year to date (YTD)?
Di bawah ini Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas secara singkat kinerja sejumlah saham-saham hotel dalam kurun 30 hari perdagangan terakhir dan sejak awal tahun, mengacu data Bursa Efek Indonesia (BEI) per 20 Mei 2021.
Apabila menilik tabel di atas, dari 15 saham hotel yang diamati, setidaknya hanya empat saham yang memiliki kinerja yang bisa dibilang positif. Sementara tiga saham tergolong saham 'tidur' alias jarang sekali bergerak, kemudian lima saham ambles di zona merah.
Khusus satu saham lagi, HOME, sedang terkena suspensi atau penghentian sementara perdagangan saham oleh pihak bursa lantaran berpotensi delisting (penghapusan pencatatan saham).
Bursa mensuspensi saham ini seiring permintaan penjelasan soal upaya perbaikan kondisi perseroan terkait dengan penutupan hotel, penarikan kembali dana hasil penawaran umum terbatas II (PUT II) yang telah disetor sebagai uang muka penyertaan kepada PT Tisarana Inti Semesta (PT TIS) dan perbaikan dalam penyusunan laporan keuangan Perseroan sehubungan dengan opini tidak wajar dari auditor independen.
Saham HOME telah disuspensi di seluruh pasar selama 12 bulan dan masa suspensi akan mencapai 24 bulan pada tanggal 3 Februari 2022.
Memang, kalau melihat dari besaran nilai transaksi, saham-saham hotel cenderung sepi. Sebut saja, saham PSKT yang pada perdagangan Kamis (20/2) kemarin hanya mencatatkan nilai transaksi Rp 10.000. Begitu pula dengan saham HOTL dengan nilai transaksi Rp 75.000.
Adapun, saham lainnya membukukan nilai transaksi di rentang Rp 1 jutaan - Rp 160-an miliar. Dengan catatan, hanya saham NATO yang memiliki transaksi hingga ratusan miliar. Sementara, satu saham lainnya dengan nilai transaksi mencapai puluhan miliaran adalah saham yang baru melantai di bursa pada 29 Maret lalu, SNLK.
Saham pengelola Fitra Hotel Majalengka, FITT, menjadi yang paling moncer dengan kenaikan sebesar 36,17% dalam sebulan dan 50,59% secara ytd.
Memang, kinerja fundamental emiten pengelola hotel sangat terpukul akibat pandemi. Contoh saja, pendapatan FITT sepanjang tahun lalu ambles 43,09% menjadi Rp 5,39 miliar. Seiring dengan merosotnya pendapatan, FITT pun kembali menelan rugi bersih Rp 8,54 miliar. Rugi tersebut lebih dalam ketimbang tahun 2019 yang mencatatkan rugi bersih Rp 6,13 miliar
Selain FITT, saham pengelola Hotel Sunlake Jakarta, SNLK, juga melonjak 64,16% selama sebulan. Seperti disebutkan di atas, lantaran SNLK baru melakukan initial public offering (IPO) sekitar 2 bulan lalu, jadi kinerja saham secara ytd belum dapat dikalkulasi.
Adapun saham pengelola hotel The Jayakarta Lombok, PNSE, ambles 28,50% dalam sebulan dan ambrol 57,57% sejak awal tahun.
Tidak hanya PNSE, saham pengelola hotel di Bandung PLAN juga anjlok 11,76% dalam sebulan terakhir dan 'terjun bebas' 70% secara ytd ke harga Rp 30/saham. Catatan saja, saham PLAN tercatat di Papan Akselerasi sehingga diizinkan untuk ambles di bawah harga saham 'normal', yakni Rp 50/saham.
NEXT: Hotel-hotel Diobral Online
