
Waduh! Rupiah Berakhir Paling Letoy di Antara Kurs Kawasan

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di perdagangan pasar spot hingga penutupan Kamis ini, di tengah kekhawatiran bahwa pengurangan pembelian obligasi di pasar sekunder (kebijakan tapering) AS bakal diberlakukan lebih cepat.
Pada Kamis (20/5/2021) pukul 16:00 WIB, US$ 1 dibanderol sebesar Rp 14.370, atau melemah 0,67% (95 poin) jika dibandingkan dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya sebesar Rp 14.275/dolar AS.
Pada pembukaan pagi, rupiah langsung terpelanting dengan depresiasi sebesar 25 poin ke level di Rp 14.300/US$. Tren depresiasi terus berlangsung dan mencapai puncaknya hingga sesi siang dengan menyentuh level Rp 14.395 pada pukul 11:00 WIB.
Mata Uang Garuda berupaya mengurangi laju koreksi pada pukul 14:00, hingga kemudian koreksi terpangkas dan membawa rupiah berakhir di level Rp 14.370/dolar AS pada penutupan pukul 16:00 WIB.
Pada sesi penutupan tersebut, mata uang utama Asia lainnya justru cenderung menguat terhadap dolar AS. Koreksi rupiah hari ini menjadi yang terburuk di antara kurs utama Asia, diikuti ringgit Malaysia yang melemah 0,17% dan won Korea Selatan yang terdepresiasi 0,04%.
Sebaliknya, yen Jepang menjadi mata uang paling digdaya melawan dolar AS dengan penguatan sebesar 0,22% ke level 103,56 per dolar AS.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pukul 16:05 WIB:
Investor global saat ini memang sedang mengantisipasi pelemahan mata uang dunia terhadap dolar AS, menyusul adanya indikasi penghentian pembelian surat berharga oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Indikasi itu ditemukan dari nota rapat April yang dipublikasikan tadi malam, yang menunjukkan bahwa pejabat bank sentral AS menjajaki opsi tersebut pada pertemuan selanjutnya alias pada rapat Mei bulan ini.
Inflasi AS bulan lalu ternyata lebih buruk dari perkiraan, dengan melesat 4,2% (tahunan) dan 0,8% (bulanan). Angka itu jauh lebih buruk dari ekspektasi pasar dalam poling Dow Jones yang memperkirakan angka 0,2% (bulanan) dan 3,6% (tahunan).
Sementara itu, inflasi inti-yang mencerminkan daya beli masyarakat karena mengecualikan komoditas yang harganya diatur pemerintah-melambung 3% (tahunan) dan 0,9% (bulanan), jauh dari proyeksi pasar sebesar 0,3% (bulanan) dan 2,3% (tahunan).
Inflasi yang meroket itu memicu spekulasi bahwa The Fed akan mengerem kebijakan longgarnya, yang berimbas pada menurunnya likuiditas atau pasokan dolar AS di pasar keuangan, sehingga nilainya berpeluang terangkat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penutupan Pasar: Rupiah Tertekan Cuma 5 Poin ke Rp 14.295/US$