Komoditas Unggulan RI Meroket, Yakinlah Q2 Ekonomi RI Ngegas!

Tirta, CNBC Indonesia
19 May 2021 15:05
Panen tandan buah segar kelapa sawit di kebun Cimulang, Candali, Bogor, Jawa Barat. Kamis (13/9). Kebun Kelapa Sawit di Kawasan ini memiliki luas 1013 hektare dari Puluhan Blok perkebunan. Setiap harinya dari pagi hingga siang para pekerja panen tandan dari satu blok perkebunan. Siang hari Puluhan ton kelapa sawit ini diangkut dipabrik dikawasan Cimulang. Menurut data Kementeria Pertanian, secara nasional terdapat 14,03 juta hektare lahan sawit di Indonesia, dengan luasan sawit rakyat 5,61 juta hektare. Minyak kelapa sawit (CPO) masih menjadi komoditas ekspor terbesar Indonesia dengan volume ekspor 2017 sebesar 33,52 juta ton. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Panen tandan buah segar kelapa sawit di kebun Cimulang, Candali, Bogor, Jawa Barat (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Istilah commodity boom sudah menjadi jargon para ekonom untuk membahasakan periode kenaikan harga komoditas dalam suatu periode tertentu. Biasanya hal ini terjadi pasca krisis ekonomi atau resesi seperti sekarang ini.

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani menjadi salah satu yang ikut mengatakan bahwa periode commodity boom bisa terulang lagi. 

"Pemulihan beberapa negara besar dalam perekonomian seperti RRT dan Amerika Serikat, serta Eropa akan membuat harga komoditas alami peningkatan sangat kuat. Ini mirip seperti tahun 2009 yang akan memunculkan boom komoditas yang mungkin harus diantisipasi, positif ataupun negatif," jelas Sri Mulyani dalam acara Musrenbangnas secara virtual, Selasa (4/5/2021).

Biasanya saat krisis terjadi demand terhadap komoditas turun. Walhasil harganya pun ikut melemah. Namun saat krisis pemerintah dan bank sentral biasanya mengeluarkan amunisi untuk membalikkan keadaan. 

Pemerintah tebar stimulus fiskal sementara bank sentral longgarkan kebijakan moneter yang tak jarang juga makroprudensial. Permintaan pun merangkak naik. Namun biasanya butuh waktu untuk membuat produksi berbagai komoditas bisa memenuhi kenaikan permintaan karena biasanya saat harga turun produsen memangkas output.

Lagipula kebijakan fiskal biasanya diarahkan ke sektor yang memiliki multiplier effect yang besar seperti pembangunan infrastruktur yang selain menyerap banyak tenaga kerja tetapi juga meningkatkan kebutuhan akan suplai komoditas. 

Inilah yang terjadi di tahun 2020 paruh kedua hingga saat ini. Berbagai harga komoditas mulai dari migas, tambang, hingga pertanian ikut terkerek naik. Sebagai salah satu negara eksportir komoditas terbesar di dunia kenaikan harga komoditas menjadi salah satu pendorong perekonomian dalam negeri. 

Faktor cyclical komoditas juga turut menentukan kinerja perekonomian dalam negeri. Harga-harga komoditas unggulan ekspor dalam negeri yang beterbangan meningkatkan optimisme ekonomi akan semakin bergeliat.

Menurut laporan kebijakan moneter Bank Indonesia (BI), harga batu bara dan minyak sawit mentah sudah naik lebih dari 40% secara year to date (ytd). Dua komoditas tersebut merupakan penyumbang ekspor non-migas terbesar RI yang pangsanya mencapai lebih dari seperempat total ekspor. 

Selain harga batu bara dan minyak sawit mentah, harga logam dasar yang banyak digunakan untuk sektor industri seperti tembaga, nikel hingga timah juga ikut beterbangan. 

Sepanjang 2021, harga nikel sudah naik 25,9%. Sementara di tahun 2020 harganya turun tipis 0,1%. Kemudian untuk tembaga harganya sudah melesat 38,4% tahun ini. Padahal tahun lalu hanya 3% saja penguatannya. 

Untuk kasus timah harganya naik 40,8% di 2021. Sebelumnya saat tahun pandemi harga timah turun 5,5%. Adanya tren industri mobil listrik yang membutuhkan komponen utama seperti nikel dan tembaga membuat RI diuntungkan karena punya sumber dayanya. 

Namun sayang Indonesia belum terintegrasi dengan rantai pasok industri automotif global, apalagi mobil listrik. Untuk itu perlu adanya investasi dan transfer teknologi agar Indonesia tidak hanya menjadi supplier raw materialsnya saja tetapi juga mendapat manfaat dari nilai tambah industri hilirnya. Ini impian jangka panjang. 

Harga Komoditas EksporFoto: :Laporan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Kuartal I 2021

Bagaimanapun juga peningkatan harga komoditas bakal menyebabkan kenaikan nilai ekspor yang pada akhirnya ikut mendongkrak output. Harga komoditas yang meningkat juga membuat pendapatan pajak naik. 

Konsumsi dan investasi juga ikut terkena manfaatnya. Saat harga komoditas menguat, daya beli masyarakat setidaknya bisa terdongkrak dan mereka menjadi willing untuk berbelanja dan memutar roda perekonomian.

 

Peningkatan harga komoditas dan ekspor juga memacu investasi untuk meningkat sehingga menambah output perekonomian. Bank Indonesia (BI) memproyeksi pertumbuhan ekonomi RI di tahun 2021 bakal berada di rentang 4,1% - 5,1%. 

Pertumbuhan PDB di kuartal kedua bakal yang paling tinggi karena adanya low base effect dan adanya momentum hari raya Idul Fitri yang ditandai dengan peningkatan konsumsi masyarakat yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian domestik. 

Jika kuartal pertama masih minus 0,74% (yoy), maka niscaya kuartal kedua akan tumbuh positif. Bahkan banyak ekonom memperkirakan PDB di kuartal kedua bisa tumbuh lebih dari 6% (yoy). Mari kita nantikan saja.


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Siap-siap, Tahun 2021 Harga Komoditas Tambang Bakal Terbang!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular