
Rupiah Lemah, Dolar AS Balik ke Rp 14.200!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Harap maklum, rupiah sudah lama absen dari pasar karena rangkaian libur Idul Fitri.
Pada Senin (17/5/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.200 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,04% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sebelum libur lebaran.
Minggu lalu, rupiah hanya diperdagangkan dua hari di pasar spot. Dalam waktu yang singkat itu, mata uang Tanah Air berhasil menguat 0,84% di hadapan dolar AS.
Absen selama tiga hari perdagangan plus akhir pekan membuat rupiah melewatkan banyak sentimen penggerak pasar. Misalnya data inflasi dan ketenagakerjaan terbaru di Negeri Paman Sam.
Pada April 2021, laju inflasi AS secara bulanan (month-to-month/mtm) adalah 0,8%. Ini adalah yang tertinggi sejak Juni 2009.
Sementara secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi Negeri Paman Sam berada di 4,2%. Ini adalah yang tertinggi sejak Juni 2008.
Inflasi disebabkan oleh permintaan konsumen yang membludak seiring Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden dan masifnya vaksinasi anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Namun di sisi lain, dunia usaha belum siap sehingga produksi masih terbatas. Akibatnya ya harga pasti naik, inflasi namanya,
"Ini adalah tanda bahwa kita punya masalah inflasi. Dunia usaha punya kemampuan untuk meningkatkan kapasitas, hanya butuh waktu untuk membuatnya kembali normal," kata Robert Barbera, Direktur di Johns Hopkins University Center for Financial Economics, seperti dikutip dari Reuters.
Masih terbatasnya penciptaan lapangan kerja terlihat dari data tunjangan pengangguran. Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan, jumlah klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 8 Mei 2021 berkurang 34.000 menjadi 473.000. Angka ini di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 490.000.
"Dari sisi suplai, ekonomi diibaratkan masih mengikat tali sepatu, belum berlari. Namun nantinya pasti akan ada peningkatan produksi sehingga mampu memenuhi permintaan," kata David Carter, Chief Investment Officer di Lenox Wealth Advisors yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Suku Bunga Bakal Naik Lebih Cepat?
