Wall Street 'Kebakaran', Bursa Asia Bertumbangan

Putra, CNBC Indonesia
13 May 2021 15:50
Passersby are reflected on an electronic board showing the exchange rates between the Japanese yen and the U.S. dollar, the yen against the euro, the yen against the Australian dollar, Dow Jones Industrial Average and other market indices outside a brokerage in Tokyo, Japan, August 6, 2019.   REUTERS/Issei Kato
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)

Jakarta, CNBC Indonesia - Badai koreksi menerpa bursa saham Asia, pada perdagangan Kamis (13/5/21). Indeks Nikkei Jepang memimpin jebloknya bursa saham Benua Kuning, dan kemungkinan besar akan disusul bursa saham Eropa.

Tercatat indeks Nikkei Jepang anjlok parah 2,49%, kemudian indeks Kospi Korea Selatan yang sempat memangkas pelemahan hingga di bawah 0,1% kini malah ditutup jeblok 1,25%.

Indeks Shanghai Composite dan Hang Seng Hong Kong juga tidak lepas dari tekanan jual. Keduanya merosot 0,96% dan 1,81%. Sementara itu bursa saham di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia, Singapura, dan Malaysia libur merayakan Hari Raya Idul Fitri. Bursa saham Asia Tenggara yang buka yakni Thailand, indeks acuanya BSET ambruk parah 1,92%.

Sementara itu tanda-tanda bursa saham Eropa akan menyusul ke zona merah terlihat dari pergerakan indeks DAX kontrak berjangka (futures) Jerman yang sudah melemah 1,69%, indeks FTSE futures Inggris minus 2,33%, serta indeks CAC milik Perancis yang ambruk 1,90%.

Tekanan jual di bursa saham global terjadi setelah bursa saham AS (Wall Street) anjlok ke level terendah 2 bulan pada perdagangan Rabu kemarin. Ketiga indeks utama di Wall Street anjlok 2% lebih setelah data menunjukkan inflasi di AS melesat naik.

Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan April melesat atau mengalami inflasi 4,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Rilis tersebut jauh lebih tinggi ketimbang hasil survei Dow Jones sebesar 3,6%.

Sementara dari bulan Maret atau secara month-to-month (mtm) tumbuh 0,8%, juga jauh lebih tinggi dari survei 0,2%.

Sementara inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 3% yoy dan 0,9% mtm, lebih dari dari ekspektasi 2,3% yoy dan 0,3% mtm.

Kenaikan inflasi secara tahunan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 2008, sementara secara bulanan terbesar dalam 40 tahun terakhir.

The Fed sebenarnya menggunakan inflasi berdasarkanPersonal Consumption Expenditure (PCE) sebagai acuan, meski demikian inflasi IHK yang tinggi juga bisa menjadi indikasi inflasi PCE akan melesat.

The Fed menetapkan target inflasi rata-rata 2%, jika dalam beberapa bulan ke depan inflasi konsisten di atas target tersebut, bukan tidak mungkin The Fed dalam waktu dekat mempertimbangkan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilahtapering.

QE yang digelontorkan senilai US$ 120 miliar per bulan sejak Maret 2020 merupakan salah satu alasan bursa saham dunia mampu bangkit dari keterpurukan saat mengalami aksi jual di bulan yang sama tahun lalu.

Alhasil, jika QE dikurangi atau munculnya ekspektasi tapering maka pasar saham merespon negatif.

TIM RISET CNBCINDONESIA


(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular