
Rupiah Memang Loyo di Eropa, tapi Pamer 'Otot' di Asia

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah berhasil menunjukkan tajinya di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) dalam tiga pekan beruntun. Adapun apresiasi rupiah paling besar justru terjadi di sepekan terakhir.
Di pasar spot nilai tukar rupiah semakin mendekati Rp 14.200/US$. Padahal tiga minggu sebelumnya rupiah masih setara dengan Rp 14.500 per US$. Di minggu ini saja rupiah berhasil menguat 1,11%. Sementara itu di dua pekan sebelumnya rupiah berhasil menguat masing-masing 0,55% dan 0,27%.
Kinerja rupiah yang apik ini tak terlepas dari tumbangnya greenback. Pada periode yang sama indeks dolar yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam terhadap kelompok mata uang lain juga ambles 1% lebih.
Sementara, melawan mata uang Eropa dan Kanada rupiah malah loyo dalam sepekan ini. Padahal pada pekan lalu, rupiah bisa unjuk gigi di depan mata uang Eropa.
Dolar Kanada menguat 0,19% menjadi Rp11.768,58/CAD sepanjang pekan ini. Lalu, mata uang Benua Biru Eropa, Euro terapresiasi 0,06%.
Tidak mau kalah poundsterling Britania Raya juga naik tipis 0,02$ menjadi Rp 19.952,02/GBP.
Krona Swedia berhasil 'menyerang balik' mata uang Garuda pada pekan ini setelah terangkat 0,80%. Pada pekan lalu krona Swedia terkulai lemas melawan rupiah, sebesar 1,6%.
Di Benua Asia, rupiah berhasil 'membabat habis' lawan-lawannya pekan ini, mulai dari won Korea, ringgit Malaysia sampai dolar Taiwan.
Seperti pekan lalu, rupiah kembali perkasa di hadapan won Korea, dengan menguat 0,77%. Sementara ringgit Malaysia harus bertekuk lutut lagi dengan ambles 1,49% di hadapan rupiah. Dolar Negeri Singa, Singapura, juga melemah 0,71%, begitu pula baht Thailand yang anjlok 1,65% di depan mata uang kebanggaan rakyat Indonesia.
Dolar yang tertekan dan ekspektasi inflasi yang tinggi membuat investor yang tak mau kekayaannya tergerus berpindah ke aset store of wealth lain.
Bagi mereka yang konservatif akan memasukkan emas dan logam mulia lain seperti perak dan platinum ke dalam portofolio investasinya. Bagi mereka yang cenderung agresif dan risk taker, maka Bitcoin cs atau cryptocurrency bisa jadi pilihan.
Sementara mereka yang mencari yield dan mau mengkompensasi sedikit risiko dengan volatilitas yang tak setajam aset digital mata uang kripto maka mata uang negara berkembang bisa menjadi salah satu opsi yang dipilih.
Masuknya aliran modal ke pasar keuangan menjadi tenaga bagi rupiah untuk menguat. Selain itu, "sang penjaga" rupiah, Bank Indonesia (BI) punya lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah di saat terjadi gejolak.
BI melaporkan cadangan devisa (Cadev) kembali meningkat di April lalu setelah tergerus sebulan sebelumnya. Kenaikan tersebut bahkan membuat Cadev kembali ke rekor tertinggi sepanjang masa US$ 138,8 miliar.
Sementara itu pada Rabu (5/5/2021) lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tiga bulan pertama 2021 mengalami kontraksi (minus) 0,96% dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter-to-quarter/qtq). Sementara dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy), ekonomi Indonesia terkontraksi 0,74%.
Realisasi ini tidak jauh dari ekspektasi pasar, bahkan sedikit lebih baik. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan PDB terkontraksi 1,09%qtq, sementara secara tahunan diperkirakan terjadi kontraksi 0,87% (yoy).
Dengan demikian, kontraksi PDB Indonesia genap terjadi selama empat kuartal beruntun. Artinya, Indonesia masih terjebak di 'jurang' resesi ekonomi. Prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih baik serta aset-aset keuangan RI yang masih menarik berpotensi membuat inflow terjadi ke pasar Asia terutama RI.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah KO vs Dolar AS, Tapi Menang vs Eropa-Asia
