
Dolar AS Masuk 'Pitstop', Rupiah Memimpin

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Rupiah berhasil memanfaatkan tekanan yang dialami dolar AS.
Pada Selasa (4/5/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.435 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Tanda-tanda apresiasi rupiah sudah terbaca sebelum pasar spot dibuka. Pasalnya, rupiah sudah menguat terlebih dulu di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF).
Berikut kurs dolar AS di pasar NDF beberapa saat usai penutupan perdagangan pasar spot kemarin dibandingkan hari, mengutip data Refinitiv:
Periode | Kurs 3 Mei (15:05 WIB) | Kurs 4 Mei (08:05 WIB) |
1 Pekan | Rp14.429,8 | Rp 14.410,5 |
1 Bulan | Rp14.467 | Rp 14.436 |
2 Bulan | Rp14.522 | Rp 14.489 |
3 Bulan | Rp14.580 | Rp 14.549 |
6 Bulan | Rp14.752 | Rp 14.721 |
9 Bulan | Rp 14.925 | Rp 14.889 |
1 Tahun | Rp 15.092,4 | Rp 15.081 |
2 Tahun | Rp 15.826,6 | Rp 15.776 |
Dolar AS yang sedang lesu membuka jalan bagi rupiah untuk menyalip. Pada pukul 08:06 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,07%.
Depresiasi dolar AS tidak lepas dari koreksi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Pada pukul 08:09 WIB, yield surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden tenor 10 tahun turun 0,3 basis poin (bps) ke 1,6029%.
Halaman Selanjutnya --> Laju Pemulihan Ekonomi AS Tertahan
Penurunan yield merespon data ekonomi terbaru di Negeri Stars and Stripes. Institute of Supply Management (ISM) melaporkan PMI manufaktur AS pada April 2021 adalah 60,7. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 64,7 meski masih di zona ekspansi karena jauh di atas 50.
Penurunan aktivitas manufaktur disebabkan oleh dunia usaha yang kewalahan dalam memenuhi permintaan yang meningkat pesat. Dunia usaha kehabisan bahan baku (input) karena permintaan melonjak akibat vaksinasi anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang masif plus kehadiran stimulus fiskal dari Gedung Putih.
Di sektor otomotif, kekurangan pasokan semikonduktor membuat produksi terpaksa dikurangi. Ford, misalnya, memangkas produksi lebih dari 50% untuk kuartal II-2021.
Di bidang teknologi informasi, pasokan chip juga langka. Akibatnya, produksi perangkat seperti iPad dan komputer Mac terpaksa dikurangi sehingga penjualan menyusut dalam hitungan miliar dolar AS.
Data ini menggambarkan bahwa pemulihan ekonomi, bahkan di AS sekalipun, tidak berjalan lancar. Masih ada masalah di sana-sini yang membuat laju 'roda' perekonomiam belum bisa dipacu seperti masa sebelum pandemi.
Oleh karena itu, selain stimulus fiskal, kehadiran stimulus moneter masih sangat dibutuhkan untuk 'memapah' perekonomian yang masih 'pincang'. Salah satunya adalah dengan suku bunga rendah.
Kemungkinan besar Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) masih akan mempertahankan suku bunga rendah mendekati 0% untuk beberapa waktu mendatang. Plus gelontoran likuiditas melalui quantitative easing pun sepertnya belum akan dikendurkan.
Pergerakan yield obligasi sangat sensitif terhadap suku bunga. Saat harapan akan kenaikan suku bunga memudar, yield akan terpangkas.
Inilah yang terjadi sekarang. Penurunan imbal hasil US Treasury Bonds membuat aset ini menjadi kurang menarik di mata investor karena iming-iming cuan yang tidak sebesar dulu.
Akibatnya, arus modal mengalir deras ke aset-aset berisiko yang menjanjikan cuan gede. Negara berkembang menjadi tujuan pelaku pasar, tidak terkecuali Indonesia. Derasnya aliran modal ini menjadi 'doping' buat rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Dolar AS Ngamuk, Rekor Tertinggi 20 Tahun!
