
Nah Ini Pemicu Minyak-CPO Melesat Saat 'Tsunami' Covid India

Jakarta, CNBC Indonesia - Apa yang menjadi sorotan para pelaku pasar di bulan April adalah ledakan kasus Covid-19 di India. Namun uniknya hal ini tak membuat harga berbagai komoditas berguguran. Padahal India merupakan salah satu market terbesar untuk komoditas energi, pangan hingga tambang.
India dalam keadaan darurat Covid-19. Jumlah kasus kumulatif Covid-19 di Negeri Bollywood terus menembus rekor tertinggi barunya. Di bulan lalu India juga resmi menyalip Brazil menjadi negara kedua dengan kasus Covid-19 terbanyak.
Sekarang hampir 20 juta orang di India telah teridentifikasi mengidap penyakit yang menyerang sistem pernapasan tersebut. Tak kurang dari 215 ribu orang terenggut jiwanya.
Rata-rata penambahan kasus baru per harinya sudah lebih dari 350 ribu. Bahkan Sabtu pekan lalu, kasus harian sempat tembus angka 400 ribu. Angka kematian akibat Covid-19 juga terus meledak.
Pemerintah pun memutuskan untuk kembali mengunci aktivitas perekonomiannya lewat lockdown. Gelombang tsunami Covid-19 yang menggulung India membuat negara tersebut sampai mengalami kelangkaan oksigen untuk medis, alat pelindung diri, hingga obat dan vaksin sebagai senjata utama melawan wabah.
Rumah sakit dipenuhi oleh pasien. Tenaga medis menjadi sangat kewalahan. Setiap hari korban berjatuhan bersama isak tangis keluarga yang ditinggalkan. Kondisi India pun menjadi mencekam.
Kembali diterapkannya lockdown di India juga menimbulkan serangkaian konsekuensi untuk pasar komoditas. Permintaan terhadap berbagai komoditas seperti minyak sawit mentah, batu bara, minyak hingga perhiasan emas terancam menurun.
Untuk keempat komoditas tersebut India mempunyai peranan penting. India merupakan importir terbesar minyak sawit mentah. India juga merupakan importir batu bara terbesar setelah China. India juga menduduki posisi ketiga sebagai importir minyak terbesar secara global.
Tidak sampai di situ, India juga merupakan pasar terbesar untuk perhiasan emas di dunia mengungguli China. Harap maklum, dengan ukuran populasi yang besar mencapai 1,4 miliar penduduk India memang menjadi pasar yang besar bagi berbagai produk.
Di India, minyak sawit mentah banyak digunakan sebagai minyak goreng. Namun bukan untuk konsumsi rumah tangga melainkan untuk sektor komersial seperti restoran dan hotel.
Di saat lockdown seperti sekarang ini jelas permintaan minyak sawit akan menurun dan ini menjadi ancaman bagi dua pemasok terbesarnya yaitu RI dan Malaysia. Ketika ekonomi digembok, sektor manufaktur dalam bahaya dan mobilitas publik menurun membuat pusat perbelanjaan dijauhi bahkan ditutup.
Hal tersebut memicu penurunan konsumsi listrik untuk sektor industri dan komersial. Masyarakat yang dilarang bepergian pun membuat permintaan terhadap bahan bakar seperti bensin pun menurun.
Reuters melaporkan permintaan bensin pada bulan April di India ambles sampai 7% akibat minimnya mobilitas. Daya beli masyarakat yang tergerus pun membuat permintaan terhadap perhiasan menurun.
Boro-boro beli perhiasan, untuk bertahan hidup dengan mencukupi kebutuhan sehari-hari saja rasanya juga sulit ketika banyak orang di India kehilangan pekerjaannya.
NEXT: Harga Minyak
Secara teoritis seharusnya serangan gelombang kedua wabah Covid-19 di India membuat harga komoditas berguguran. Namun nyatanya tidak demikian. Empat komoditas yang berkaitan erat dengan India justru membukukan kenaikan harga.
Harga batu bara sebulan terakhir mondar-mandir di US$ 85 - US$ 90 per ton untuk kontrak berjangka batu bara termal ICE Newcastle. Namun pada April harganya masih tercatat naik 1,3%.
Kuatnya harga batu bara didukung dengan kenaikan konsumsi listrik di China yang mencapai 8% di tengah penurunan pasokan batu bara akibat inspeksi tambang yang dilakukan pemerintah lokal. Alhasil harga batu bara acuan China melonjak tajam melampaui batas atas yang ditetapkan pemerintah.
Mengingat batu bara impor jauh lebih murah, kenaikan harga batu bara domestik membuat batu bara impor menjadi lebih menarik. Kebijakan kuota impor yang sebelumnya ketat pun dilonggarkan.
Kini perusahaan utilitas bisa lebih leluasa mengimpor batu bara dari negara lain kecuali Australia karena Negeri Panda dan Negeri Kanguru sedang berseteru.
Kemudian harga emas masih tercatat naik 3,6%. Memang permintaan emas fisik untuk perhiasan menurun drastis. Namun permintaan untuk investasi memiliki nasib yang berbeda.
Kenaikan harga emas dibarengi degan pelemahan dolar AS, yield obligasi pemerintah AS dan juga kejatuhan aset digital Bitcoin. Namun sejatinya di sepanjang tahun 2021 harga emas cenderung tertekan.
Beralih ke duo minyak. Harga minyak mentah dan minyak sawit menjadi jawara komoditas di bulan April. Harga minyak Brent tercatat naik 5,8% bulan lalu.
Meskipun para kartel yang tergabung dalam OPEC sepakat untuk menggenjot produksi mulai bulan Mei tetapi pasar masih yakin bahwa surplus pasokan bisa ditekan dan permintaan minyak tahun ini akan naik 6 juta barel per hari (bph).
Bagaimanapun juga kenaikan harga minyak dan pemulihannya dari tekanan pandemi merupakan jasa OPEC yang memangkas produksi secara besar-besaran. Kenaikan harga minyak juga turut mengerek naik harga minyak sawit.
Tingginya harga minyak sawit mentah hingga ke rentang tertinggi dalam 10 tahun juga diakibatkan oleh prospek ketatnya pasokan karena kekurangan tenaga kerja di sektor perkebunan sawit Malaysia. Namun harga diramal bakal turun pada paruh kedua tahun ini seiring dengan membaiknya produksi.
Well, India memang pasar yang besar bagi hampir seluruh komoditas. Namun kenaikan harga komoditas yang berkaitan erat dengan India tersebut tak hanya menunjukkan adanya dinamika supply & demand tetapi juga lanskap pasar yang lebih luas dibarengi dengan adanya berbagai tindakan yang cenderung spekulatif.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Goks! Batu Bara & CPO Jawara Tahun Ini, Cek Saham Emitennya
