
Mau Bilang Apa? Asia Merah, IHSG Ikut-ikutan Nyungsep

Jakarta, CNBC Indonesia - Tak kuasa menahan tekanan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh ke zona merah di akhir perdagangan sesi I setelah digiring ke zona hijau saat pembukaan.
IHSG dibuka di level 6.026.53 lebih tinggi dari level penutupan kemarin. Indeks sempat melesat dan tembus ke 6.033,9 selang beberapa menit setelah pembukaan. Setelah itu IHSG bergerak dengan volatil dan akhirnya jatuh ke zona merah.
IHSG drop 0,33% dan keluar dari level psikologis 6.000. Tidak hanya bursa saham domestik saja yang tertekan. Beberapa bursa utama Asia juga ikut tertekan, bahkan lebih dalam dari IHSG.
Indeks Nikkei (Jepang) ambles 0,71%. Indeks Hang Seng (Hong Kong) anjlok 1,53%. Indeks Shang Hai Composite (China) melemah 0,51%. Namun indeks Strait Times (Singapura) mampu selamat dan mengalami apresiasi sebesar 0,31%.
Kembali ke dalam negeri, asing tercatat melakukan aksi jualan. Walaupun kecil nilai net sell asing mencapai Rp 45,84 miliar di pasar reguler. Saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) menjadi yang paling banyak diobral asing.
Walaupun asing lepas saham TLKM senilai Rp 42 miliar, tetapi harganya naik 0,94%. Hal ini berbeda dengan saham BBRI yang anjlok 1,68% setelah dilepas asing sebanyak Rp 37,2 miliar.
Dini hari tadi, bursa saham Amerika Serikat (AS) berakhir di zona hijau pada perdagangan Kamis (29/4/2021), menyusul kuatnya rilis kinerja dua raksasa teknologi AS yakni Apple dan Facebook.
Indeks Dow Jones Industrial Average melesat 240 poin (+0,71%) ke 34.060,36 pada penutupan perdagangan dan S&P 500 naik 28,3 poin (+0,68%) ke 4.211,47. Nasdaq menguat hanya 31,5 poin (+0,22%) ke 14.082,55.
Meskipun bank sentral AS kini sudah menghapus risiko tapering. Namun ada risiko lain yang membayangi yaitu inflasi yang tinggi.
Pada Februari lalu, angka PCE tumbuh sebesar 1,4% secara tahunan. Pertumbuhan tersebut lebih lambat dibandingkan laju Januari 2021 yang sebesar 1,5%. Namun, konsensus ekonom dan analis dalam polling Tradingeconomics memperkirakan angka PCE Maret akan berada di level 1,8% (tahunan).
Lonjakan angka PCE itu kian mendekati batas 2% yang secara historis menjadi acuan The Fed dalam menetapkan suku bunga. Sekalipun bank sentral telah menegaskan bahwa angka 2% bukan lagi harga mati dalam penentuan suku bunga acuan, tetapi logika pasar tentu berbeda. Inflasi 2% akan membuat yield 1,6% menjadi tidak masuk akal.
Jika angka PCE tersebut terkonfirmasi 1,8%, maka ada peluang kenaikan imbal hasil setidaknya di angka yang sama. Kenaikan imbal hasil membuka peluang lebih besar akan terjadinya penarikan modal investor global di pasar negara berkembang.
Selain itu perlu diwaspadai tren pembatasan aktivitas masyarakat (lockdown). Turki menyusul Jerman yang melakukan lockdown menyusul gelombang ketiga penyebaran virus. India sejauh ini menghadapi problem pandemi, dan mulai memperketat aktivitas masyarakat.
Jika lockdown kembali menjadi tren global, maka pemulihan ekonomi bakal terganggu. Bagi Indonesia, ini bakal menjadi kabar buruk. Dalam Asian Development Outlook 2021, Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 4,5% atau lebih rendah dari proyeksi awal 5,3%.
Pemangkasan proyeksi terjadi lantaran pandemi secara global belum ada tanda berakhir, sementara Indonesia masih bergantung pada komoditas untuk bisa menggenjot pemasukan devisa hasil ekspor. Revisi proyeksi ADB itu terjadi setelah sebelumnya Bank Indonesia (BI) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia, dari 4,8-5,8% menjadi 4,3-5,3%.
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Top Banget! IHSG Tembus 6.200, Happy Cuan Jelang Weekend