Jakarta, CNBC Indonesia - Kelanjutan operasional PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) akan diakhiri pemerintah. Menurut sumber, yang megetahui rencana ini maskapai milik pemerintah ini tak lagi bisa menjalankan kegiatan operasional penerbangan, apalagi dalam situasi sulit seperti ini,
Namun anak ada 2 anak usaha Merpati yang masih berpotensi untuk dipertahankan karena tidak memiliki ketergantungan finansial terhadap induk usahanya.
Saat ini Merpati sedang menjadi pasien PT Perusahaan Pengelolala Aset (PPA) bersama 18 BUMN lain yang bermasalah.
"Merpati rasanya sudah tidak mungkin hidup lagi. Kita sedang dalam upaya untuk tutup operasi. Nanti yang tersisa ada dua anak usaha Merpati yang akan dikeluarkan dari induknya dan dikembangkan," kata sumber tersebut kepada CNBC Indonesia.
Sementara itu, dua anak usaha Merpati yang dipertahankan adalah Merpati Maintenance Facility (MMF) dan Merpati Training Centre (MTC). Menurut Yadi, dua anak usahanya ini ternyata mampu hidup sendiri tanpa adanya dukungan dari induk usahanya
"Jadi kalau kita keluarkan dari induknya itu market-nya masih ada. Nanti mungkin namanya bisa diganti kalau perlu, yang penting dia punya bisnis yang bisa dijalankan," tambahnya.
Saat ini bisnis maskapai lagi berat-beratnya, apalagi ditambah adanya pandemi virus Corona (COVID-19). Maka dari itu, bukan keputusan yang bijak jika ingin menghidupkan kembali Merpati supaya bisa terbang kembali.
Maskapai yang masih hidup saja sekarang ini keuangannya berdarah-darah, dan itu terjadi tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia
Seperti diketahui, maskapai yang didirikan pada 6 September 1962 itu berhenti terbang sejak 1 Februari 2014. Merpati sempat mendapat angin segar untuk menjalankan lini bisnis kargo udara pada 2019 silam.
Kala itu manajemen Merpati meneken kerja sama dengan 10 BUMN, salah satunya adalah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA).
Sebelum berhenti terbang, Merpati sempat sukses melayani penumpang pesawat ke rute-rute terpencil sampai akhirnya muncul maskapai bertarif murah alias LCC di pertengahan tahun 2000.
Kementerian Badan Usaha MIlik Negara (BUMN) menyebutkan saat ini sudah terdapat 14 perusahaan yang telah masuk dalam pipeline untuk dilikuidasi bisnisnya. Hal ini dilakukan lantaran perusahaan-perusahaan tersebut dinilai sudah tak lagi memiliki nilai ekonomis lagi.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan likuidasi perusahaan ini nantinya akan dilakukan melalui PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero)/PPA. Perusahaan ini akan ambil bagian untuk melakukan likuidasi ataupun mengelola BUMN lainnya yang dinilai masih bisa dipertahankan.
"Kalau memang tidak bisa dipertahakan maka ada kemungkinan tutup, digabungkan atau bentuk strategis," kata Arya dalam video yang diunggah dalam akun Matangasa Institute, dikutip Rabu (30/9/2020).
Dia menjelaskan, beberapa perusahaan yang dipastikan akan ditutup seperti PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) yang saat ini masih ada perusahaannya namun sudah tak lagi beroperasi sejak lama.
Lalu BUMN lainnya yang juga disinggung adalah PT Kertas Kraft Aceh (Persero) dan PT Iglas (Persero).
"... Bisa melikuidasi, merger perusahaan yang dead weight, ga bisa diapa-apain seperti Merpati yang sampai hari ini masih hidup padahal ga operasional lagi. Banyak perusahaan sepeti ini, Iglas, Craft Aceh," jelasnya.
Ini bukan pertama kalinya Kementerian menyinggung bakal melikuidasi Merpati.
"Anda tahu Merpati? Masih terbang nggak? Nggak. Tapi masih ada perusahaannya. Masih terbang nggak? Kalau soal pesawat ada, kalau nggak terbang kan nggak ada operasi, tapi masih ada Merpati," kata Arya, Sabtu (6/6/2020).
Merpati Nusantara Airlines (MNA) sempat ramai menjadi perbincangan publik Oktober 2020, saat pelantikan kabinet Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Maskapai yang didirikan pada 6 September 1962 dan ditutup sejak 1 Februari 2014 itu memang sempat mendapat angin segar untuk menjalankan kini bisnis kargo udara kembali setelah pada Rabu (16/10/2019), manajemen Merpati meneken kerja sama dengan 10 perusahaan BUMN.
Secara B to B, Merpati bekerjasama dengan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) untuk pengiriman kargo udara. Namun Direktur Utama Merpati Airlines Asep Eka Nugraha ketika belum bisa memastikan kapan maskapai tersebut akan kembali mengudara.
"Enggak terkejar kalau tahun ini [terbang lagi]. Sertifikasi [dari Kementerian Perhubungan] itu kan panjang," kata Asep kepada wartawan di Kantor Kementerian BUMN, Rabu (16/10/2019).
Sebelum tutup 6 tahun lalu, Merpati awalnya cukup sukses melayani penumpang pesawat di Tanah Air sebelum masuknya maskapai bertarif murah alias LCC yang diawali dengan hadirnya Lion Air pada Juni 2000.
Pada awalnya, mengacu data Kementerian BUMN, Merpati hanya menawarkan layanan penumpang, lalu kemudian berkembang di bisnis layanan darat (ground handling) dan pelatihan awak dan pilot.
Selain itu, perseroan juga mendirikan Merpati Maintenance Facility (MMF) yang menyediakan perawatan dan perbaikan pesawat yang berbasis di Bandara Internasional Juanda, Surabaya, Jawa Timur.
Para 2015, jumlah karyawan Merpati di kantor pusat sebanyak 33 orang dan 152 orang di kantor cabang. Pada 2016, jumlah karyawan kantor pusat hanya 29 orang dan kantor cabang 132 orang.
Mengacu data kinerja BUMN periode 2015 (setahun setelah tutup), Merpati masih tercatat memiliki aset mencapai Rp 1,32 triliun, berkurang dari aset 2014 sebesar Rp 2,46 triliun dan pada 2012 sebesar Rp 2,79 triliun.
Ekuitas perseroan juga negatif hingga Rp 8,59 triliun dari tahun sebelumnya Rp 6,12 triliun, dan tahun 2012 negatif sebesar Rp 3,74 triliun. Sementara kewajiban Merpati pada 2015 yakni mencapai Rp 9,92 triliun dari 2014 yakni Rp 8,59 triliun dan 2012 sebesar Rp 6,55 triliun.
Baca:Apa Kabar Rencana Erick Tutup Merpati & Iglas? Ini Update-nya
Sepanjang 2015, perseroan masih membukukan pendapatan Rp 43 miliar, amblas 64% dibandingkan dengan 2014 yakni Rp 121 miliar dan anjlok hingga 98% dari 2012 yang masih sebesar Rp 1,75 triliun.
Merpati mencetak rugi bersih Rp 2,48 triliun, membengkak 209% dari tahun sebelumnya Rp 803 miliar dan rugi bersih 2012 sebesar Rp 1,54 triliun.