Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. 'Ombak' kini sudah tenang, karena Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) telah memberi sabda.
Pada Kamis (29/4/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.400 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,65% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,1% ke Rp 14.495/US$. Namun rupiah bukan satu-satunya, hampir seluruh mata uang utama Asia tidak berdaya melawan keperkasaan dolar AS.
Penyebabnya adalah pelaku pasar menantikan hasil rapat bulanan The Fed. Selama 'masa iddah' itu, investor cenderung menahan diri dan menjauhi aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dini hari tadi waktu Indonesia, penantian itu berakhir. Rapat bulanan Komite Pengambil Keputusan The Fed (Federal Open Market Committee) selesai dan Ketua Jerome 'Jay' Powell membacakan hasilnya.
Halaman Selanjutnya --> Powell: Belum Saatnya Ngomong Perubahan Kebijakan!
Soal suku bunga acuan, seperti ekspektasi, tidak berubah di 0-0,25%. Namun bukan itu yang ditunggu pelaku pasar, melainkan petunjuk mengenai arah kebijakan moneter ke depan. Apakah masih akan tetap longgar atau maulai ada wacana pengetatan karena ekonomi Negeri Paman Sam yang semakin membaik?
"Sekarang belum saatnya untuk mendiskusikan soal perubahan kebijakan. Lapangan kerja masih 8,5 juta di bawah posisi Februari 2020. Kita masih jauh dari tujuan, perlu waktu," kata Powell dalam konferensi pers usai rapat, seperti dikutip dari Reuters.
Laju inflasi, lanjut Powell, memang terakselerasi. Itu wajar karena bagaimanapun situasi mulai membaik. Namun bukan berarti tekanan inflasi ini bersifat persisten sehingga membuat suku bunga acuan harus dinaikkan dalam waktu dekat.
"Dengan perkembangan vaksinasi anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) dan berbagai kebijakan yang mendukung, berbagai indikator ekonomi dan ketenagakerjaan semakin kuat. Namun jalan menuju pemulihan ekonomi akan sangat tergantung dari perkembangan pandemi," tutur Powell.
Menurut Powell, masih ada kemungkinan virus corona kembali menggila di Negeri Paman Sam saat liburan musim panas. Demikian pula saat musim dingin nanti. Keduanya adalah momentum peningkatan interaksi antar-manusia yang bisa membuat virus menyebar lebih cepat dan luas.
"Ada kemungkinan kita akan mengalami lonjakan pada musim panas, dan kemungkinan juga pada musim dingin. Namun kami akan terus berjuang untuk mencapai target inflasi dan penciptaan lapangan kerja," sebut Powell.
Halaman Selanjutnya --> Suku Bunga Rendah, Dolar AS Menyerah
Kalimat Powell tidak bersayap, tidak tersirat. Kalimat itu tegas, lugas, cetha wela-wela. Untuk saat ini jangan ngomong dulu soal pengetatan, belum ada perubahan posisi (stance). The Fed tetap ultra-longgar.
Ini membuat pelaku pasar mulai ciut nyali dan tidak lagi berani bertaruh bahwa Federal Funds Rate bakal naik tahun ini. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas suku bunga acuan naik 25 basis poin (bps) ke 0,15-0,5% pada akhir tahun ini adalah 90%. Ini adalah yang terendah dalam sebulan terakhir.
 Sumber: CME FedWatch |
Peluang kenaikan suku bunga acuan yang mengecil membuat dolar AS kehilangan tenaga. Pada pukul 07:56 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,11%.
"The Fed masih sangat hati-hati dan menunda langkah menuju normalisasi kebijakan moneter. Suku bunga rendah di tengah ekonomi yang semaki baik adalah resep pelemahan dolar AS," kata Joseph Capurso, Head of International Economics di CBA, seperti dikutip dari Reuters.
Well, sekarang 'ombak' sudah tenang. Investor sudah bisa kembali berburu aset-aset dengan cuan gede di negara-negara berkembang, karena aset berbasis dolar AS tidak bisa memberikannya seiring suku bunga yang rendah.
Arus modal akan kembali masuk ke pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ini menjadi 'doping' bagi rupiah untuk perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA