Adaro Dapat Utang Jumbo Rp 5,8 T, Ada Apa kok Diprotes?

Monica Wareza, CNBC Indonesia
28 April 2021 12:05
Adaro akan Lakukan Limited Review Laporan Keuangan
Foto: Adaro akan Lakukan Limited Review Laporan Keuangan (CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan tambang batu bara PT Adaro Energy Tbk (ADRO) melalui anak usahanya PT Adaro Indonesia telah menandatangani Perjanjian Fasilitas Pinjaman sebesar US$ 400 juta atau setara dengan Rp 8,5 triliun (kurs Rp 14.500/US$). Sebanyak 88,467% saham Adaro Indonesia (AI) secara tak langsung dipegang ADRO.

Sekretaris Perusahaan ADRO Mahardika Putranto mengatakan pinjaman yang diteken pada 23 April lalu tersebut diperoleh dari beberapa bank tanpa menyebut lembaga yang dimaksud.

"Dana yang diperoleh dari fasilitas pinjaman ini akan digunakan untuk melakukan pelunasan lebih awal atas seluruh saldo pinjaman terhutang yang dimiliki AI berdasarkan Perjanjian Fasilitas Pinjaman sebesar US$ 1 miliar [setara Rp 14,5 triliun] tertanggal 25 Agustus 2014," kata Mahardika, dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (28/4/2021).

Dia menjelaskan, fasilitas pinjaman ini akan dibayarkan setiap kuartal dan akan jatuh tempo pada tanggal 23 April 2026 atau 5 tahun setelah tanggal Perjanjian Fasilitas Pinjaman AI. Perseroan memberikan jaminan sepenuhnya atas fasilitas pinjaman ini kepada AI.

"Fasilitas pinjaman ini akan memberikan dampak positif pada kondisi keuangan ADRO," kata Mahardika.

Pinjaman ini sebetulnya sempat ramai diberitakan pada Februari lalu kendati belum terealisasi saat itu.

Head of Corporate Communication Adaro Energy Febriati Nadira saat itu mengatakan upaya ini juga merupakan langkah perusahaan untuk melakukan penguatan modal perusahaan dengan membuka beberapa opsi yang mungkin akan dilakukan.

"Kita akan selalu berupaya untuk memperkuat struktur permodalan kita, dan bond [obligasi] atau loan [pinjaman bank] merupakan beberapa opsi," kata Febriati kepada CNBC Indonesia, Jumat (5/2/2021).

Berdasarkan laporan keuangan ADRO 30 September 2020, perusahaan memiliki nilai utang bank jangka pendek senilai US$ 571,94 juta. Utang ini terdiri dari lima pinjaman sindikasi dengan sejumlah perbankan dalam bentuk dolar Amerika Serikat dan dolar Singapura.

Adapun nilai yang harus dibayarkan perusahaan di tahun ini mencapai US$ 551 juta atau setara dengan Rp 7,71 triliun, sedangkan sisanya harus dibayarkan di tahun lalu.

Dalam keterangan laporan keuangannya di akhir September 2020, manajemen perusahaan menyebutkan tingkat likuiditas perusahaan masih tinggi mencapai US$ 1,67 miliar, terdiri dari kas senilai US$ 1,18 miliar dan US$ 151 juta investasi lainnya.

Perusahaan juga masih memiliki fasilitas pinjaman yang masih belum terpakai mencapai US$ 326 juta. Nilai utang berbunga mencapai US$ 1,6 miliar, naik 23% secara tahunan (year on year/YoY). Nilai ini sudah termasuk obligasi senilai US$ 750 juta yang diterbitkan pada Oktober 2019.

"Adaro Energy menjaga posisi keuangan yang sehat dengan utang bersih sebesar US$ 264 juta, rasio utang bersih terhadap EBITDA operasional 12 bulan terakhir sebesar 0,29x dan rasio utang bersih terhadap ekuitas sebesar 0,07x," tulis manajemen.

NEXT: Ada Protes Aktivis

Di sisi lain, pinjaman Adaro senilai Rp 5,8 triliun ini pun mendapat sorotan dari para aktivis lingkungan. Mereka pun menggelar aksi damai di depan kantor Adaro Energy Selasa pagi (26/4), bersamaan dengan pelaksanaan RUPST perseroan.

Mereka di antaranya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Trend Asia, Southeast Asia Energy Finance dari Market Forces (bagian dari Friends of the Earth Australia), Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat, dan Indonesia Team Leader 350.org.

"Batu bara telah terbukti menjadi pembunuh senyap dan mematikan bagi masyarakat sekitar PLTU [pembangkit listrik tenaga uap]. Contohnya di wilayah Jabodetabek. PLTU batu bara dalam radius 100 km dari Jakarta bertanggung jawab atas sekitar 2.500 kematian dini di wilayah Jabodetabek, dengan biaya tahunan yang ditimbulkan mencapai Rp 1,5 triliun rupiah per tahun," tegas Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, dalam pernyataan resminya.

Aktivis Lingkungan Aksi Damai di ADRO, 26 April 2021/dok Walhi dkkFoto: Aktivis Lingkungan Aksi Damai di ADRO, 26 April 2021/dok Walhi dkk
Aktivis Lingkungan Aksi Damai di ADRO, 26 April 2021/dok Walhi dkk

Dalam kesempatan itu, Elok Faiqotul Mutia Direktur Eksekutif Enter Nusantara, menyatakan aksi ini bagian dari upaya menghentikan penggunaan energi kotor dan mendesak kepada para investor dan lembaga jasa keuangan yang selama ini mendukung bisnis batu bara untuk tidak terbuai dengan rencana Green Initiatives yang terkesan sebagai upaya greenwashing.

"Pernyataan Adaro terkait rencana perusahaan untuk melakukan diversifikasi ke arah green energy patut dipertanyakan," katanya.

"Karena sejauh ini tidak ada strategi jelas yang tertuang dalam publikasi perseroan. Green Initiatives yang digaungkan Adaro saat ini hanya sebatas narasi semu untuk membangun citra baik perusahaan. Sebab, pada saat yang sama Adaro tetap berupaya mencari pinjaman US$ 400 juta untuk menutupi utang jatuh tempo agar tetap dapat melakukan eksploitasi energi batu bara," ujar Andri Prasetiyo, peneliti Trend Asia.

Adaro Energy, katanya, melalui anak usahanya Adaro Indonesia, memiliki pinjaman sindikasi dengan plafon US$ 1 miliar yang akan jatuh tempo pada Agustus 2021. Bank-bank yang sebelumnya terlibat dalam pinjaman-pinjaman tersebut adalah ANZ, Standard Chartered, HSBC, Citigroup, CIMB, Maybank, DBS, OCBC, UOB, MUFG, SMBC, Mizuho, ING Bank, dan Bank Mandiri.

Dalam laporan tahunannya, Adaro Energy menyebutkan bahwa pertambangan batu bara masih merupakan DNA grup dan menargetkan volume produksi batubara sebesar 52-54 juta ton, sebanding dengan produksi mereka tahun lalu.

Adaro Energy memiliki cadangan batu bara sebesar 1,1 miliar ton, jika batu bara tersebut dibakar maka akan menghasilkan emisi sebesar 2.2 Gt CO2-e.

Padahal, katanya, Sekjen UN, Antonio Guterres, menyatakan bahwa dunia harus segera berhenti menggunakan batu bara untuk dapat mencapai target global membatasi kenaikan temperatur di bawah 1.5°C.

"Bank yang terlibat dalam pendanaan Adaro Energy, akan terpapar risiko reputasi sebagai bank yang mendanai salah satu sumber emisi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Investor Adaro Energy harus mendorong Adaro Energy untuk mengembangkan rencana strategis dengan target batas waktu yang terukur untuk mengurangi ketergantungan perusahaan terhadap batu bara dan akhirnya keluar dari bisnis batu bara," tegas Binbin Mariana, Southeast Asia Energy Finance Campaigner dari Market Forces.

Pius Ginting, koordinator perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat menambahkan, "tren produksi Adaro Energy yang terus meningkat selama tahun 2016-2020 bertentangan dengan amanat RUEN 2017 yang mengharuskan produksi batu bara diturunkan dari 461,6 juta ton tahun 2015 menjadi maksimal 400 juta ton tahun 2019. Jadi proporsi investasi Adaro Energy belum ada transformasi signifikan ke energi non-batu bara."

"Adaro Energy adalah satu dari 100 perusahaan di dunia yang bertanggung jawab atas 71 persen emisi global. Dukungan pembiayaan terhadap Adaro Energy sama dengan investasi memastikan krisis iklim," kata Sisilia Nurmala Dewi dari Indonesia Team Leader 350.org.

"Saat ini, dunia telah meninggalkan energi fosil. Bank dan investor harus memilih apakah akan membangun untuk keselamatan umat manusia atau menyelamatkan elite batu bara. Kami menunggu komitmen institusi keuangan dan para investor untuk segera berhenti mendanai energi fosil," tutupnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular