
Zaman Berubah? Kalau Inflasi Belinya Crypto Bukan Emas

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas gagal bertahan di level psikologis US$ 1.750/troy ons dan malah melemah di saat harga aset digital koin kripto Bitcoin kembali tembus US$ 60 ribu/BTC.
Selasa (13/4/2021), harga emas dunia di pasar spot melemah tipis 0,05% ke US$ 1.731/troy ons. Dalam lima hari perdagangan terakhir harga emas cenderung mengalami koreksi.
Harga emas sudah downtrend dari level tertingginya sepanjang masa sejak kuartal terakhir tahun lalu seiring dengan membaiknya outlook perekonomian global akibat ageresifnya kampanye vaksinasi Covid-19 secara masal.
Beberapa analis menilai bahwa fundamental emas masih kuat. Salah satunya adalah analis Standard Chartered Suki Cooper. Menurutnya harga emas saat ini kenaikan ekspektasi inflasi belum benar-benar tercermin pada harga emas.
Si logam kuning merupakan salah satu aset yang banyak digunakan untuk lindung nilai (hedge) dari inflasi. Saat suatu mata uang mengalami devaluasi, maka emas cenderung menunjukkan performa yang baik.
"Harga emas tidak sepenuhnya mencerminkan risiko inflasi tinggi dalam waktu dekat karena ekonomi dibuka kembali tetapi mendapatkan dukungan dari pemulihan permintaan fisik," kata Cooper dalam sebuah laporan.
"Sementara sikap dovish Fed dan skala stimulus fiskal AS memberikan kondisi yang menguntungkan, harga emas cenderung reli kuat di tengah periode inflasi yang tinggi dan tak terduga."
Dan meskipun kemungkinan inflasi akan meningkat dalam beberapa bulan mendatang, masih belum jelas bagaimana reaksi emas.
"Tidak pasti apakah itu akan cukup tinggi untuk mendorong emas secara substansial dan apakah emas akan menjadi penerima manfaat utama dari lindung nilai inflasi. Cryptocurrency juga menarik minat sebagai lindung nilai potensial," kata Cooper.
Lebih lanjut Cooper mengatakan bahwa ekspektasi inflasi yang tinggi akan turut memberikan dukungan bagi emas. Namun inflasi tak akan cukup tinggi untuk waktu yang lama sehingga kurang mampu mendorong harga naik.
Di sepanjang tahun 2021, fokus pelaku pasar adalah kenaikan imbal hasil (yield) obligasi AS yang tajam. Pasar yang reaktif langsung menyebabkan harga emas anjlok. Tak seperti obligasi yang memberikan kupon, emas tak memberikan imbal hasil apapun kecuali capital gain.
Kenaikan yield tentu saja membuat biaya peluang memegang aset tak berimbal hasil meningkat sehingga kurang begitu menarik untuk dikoleksi.
Hanya saja menurut Juan Carlos Artigas selaku direktur riset investasi World Gold Council (WGC) mengatakan bahwa kenaikan yield sampai 2,5% pun seharusnya tak akan berdampak besar pada emas. Hal tersebut karena didukung oleh kondisi makroekonomi yang sesuai.
"Ya, kita telah melihat kenaikan besar dalam imbal hasil sepanjang tahun ini, tetapi secara historis mereka masih sangat rendah. Bahkan jika [yield surat utang AS] 10 tahun menjadi 2,5%, sekali lagi, dari perspektif historis, itu masih sangat rendah." kata Artigas kepada Kitco News.
Namun zaman sudah berubah. Kemunculan aset baru yang berupa mata uang kripto membuat pelaku pasar mengalami euforia. Kini emas punya pesaing ketika inflasi mulai merangkak naik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jeng..jeng, Investor Emas Pindah ke Saham Tesla & Bitcoin?