Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri rontok pada perdagangan Senin kemarin, padahal di awal perdagangan sempat muncul tanda-tanda akan menghijau. Pergerakan tersebut menunjukkan sulitnya mempertahankan mood pelaku pasar global saat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) masih belum tuntas.
Pada perdagangan hari ini, Selasa (13/4/2021), sentimen negatif datang dari barat, di mana Wall Street turun dari rekor tertinggi sepanjang masa. Selain itu, pelaku pasar juga menanti data inflasi Amerika Serikat (AS) yang bisa memberikan dampak besar di pasar.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di awal perdagangan menguat 0,31%, tetapi setelahnya berbalik melemah. Bahkan pada akhirnya mengakhiri perdagangan di 5.948,569, anjlok 2%.
Data pasar mencatat investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp 521 miliar di pasar reguler, dengan nilai transaksi mencapai Rp 9,56 triliun.
Nilai tukar rupiah juga mengalami pelemahan 0,21% melawan dolar AS ke Rp 14.590/US$, sebelumnya bahkan sempat menyentuh Rp 14.620/US$ atau melemah 0,41%. Level tersebut merupakan yang terendah dalam 5 bulan terakhir.
Sebelumnya rupiah juga membukukan pelemahan 8 pekan beruntun, dengan total 4,37%.
Sementara itu pasar obligasi bervariasi, yang terlihat dari kenaikan yield Treasury di beberapa tenor, sementara tenor lainnya mengalami penurunan. Yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun yang biasa menjadi acuan naik 5.9 basis poin ke 6,512%.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika harga naik, maka yield akan turun, dan sebaliknya.
Sentimen pelaku pasar yang sebelumnya sedang bagus pasca rekor yang dicetak bursa saham AS (Wall Street) malah berbalik memburuk.
Beberapa sentimen negatif datang dari luar negeri. India diperkirakan tengah mempertimbangkan menerapkan lockdown di daerah Maharasahra akibat jumlah kasus Covid-19 yang masih tinggi. India kini menjadi negara dengan kasus positif Covid-19 terbesar kedua di dunia mengalahkan Brasil karena lonjakan infeksi dalam beberapa minggu terakhir.
Sementara itu, Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China, Gao Fu mengakui vaksin Covid-19 dari China yang beredar saat ini memiliki tingkat kemanjuran (efikasi) rendah ketimbang vaksin yang lainnya.
Oleh sebab itu, pemerintah China mewacanakan untuk mencampurkan beberapa vaksin Covid-19 yang berbeda. Diharapkan cara ini bisa meningkatkan kemanjuran vaksinnya.
Kemudian dari dalam negeri, penjualan ritel di Indonesia masih mengalami kontraksi pada Februari 2021, baik secara bulanan (month-to-month/MtM) dan tahunan (year-on-year/YoY).
Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Februari 2021 sebesar 177,1. Terjadi kontraksi atau pertumbuhan negatif 2,7% MtM. Secara YoY, kontraksinya mencapai 18,1%.
Namun data Februari 2021 sedikit lebih baik ketimbang bulan sebelumnya. Pada Januari 2021, penjualan ritel tumbuh -4,3% MtM.
"Responden menyampaikan bahwa perbaikan tersebut didorong oleh permintaan masyarakat yang meningkat saat HBKN (Hari Besar Keagamaan Nasional) Imlek dan libur nasional. Perbaikan terjadi pada sebagian besar kelompok barang, seperti Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Perlengkapan Rumah Tangga Lainnya, dan Suku Cadang dan Aksesoris," sebut keterangan tertulis BI yang dirilis Senin (12/4/2021).
Di bulan Maret, penjualan ritel diperkirakan akan lebih baik lagi. Responden memprakirakan peningkatan kinerja penjualan eceran berlanjut pada Maret 2021. Hal itu tercermin dari IPR Maret 2021 yang diprakirakan tumbuh 2,9% (MtM), meski secara tahunan masih berkontraksi 17,1%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Turun Dari Rekor Tertinggi
Bursa saham AS (Wall Street) mengawali pekan ini di zona merah, turun dari rekor tertinggi sepanjang masa yang dicapai pada pekan lalu. Pelaku pasar menanti rilis data inflasi, serta laporan laba rugi emiten di pekan ini.
Indeks Dow Jones pada perdagangan Senin waktu setempat melemah 0,16% ke 33.745,4, S&P 500 turun tipis 0,02% ke 4.127,99, dan Nasdaq minus 0,36% ke 13.850.
Data inflasi AS akan dirilis hari ini, yang akan memberikan dampak signifikan di pasar. Maklum saja, inflasi merupakan salah satu acuan utama bank sentral AS (The Fed) dalam menetapkan kebijakan moneter.
Perencana Saham Evercore ISI Dennis DeBusschere menilai tekanan fiskal yang positif, penjualan rumah, tabungan masyarakat yang besar, dan The Fed membiarkan inflasi melampaui 2% menandai situasi ekonomi yang berubah.
"Data AS diperkirakan kuat pekan ini dan vaksinasi di AS meningkat. Suku bunga riil masih terlalu negatif dan kita mengarah pada pertumbuhan, mendukung kinerja saham yang baik meski dengan risiko yang membayang," tuturnya sebagaimana dikutip CNBC International.
Pada Minggu malam waktu AS, ketua The Fed Jerome Powell menyatakan bahwa ekonomi AS berada di "poin pembalikan" dengan pertumbuhan dan kenaikan pembukaan lapangan kerja diprediksi melesat. Dia menilai inflasi 2% masih bisa diterima.
"Kami ingin melihat inflasi naik menuju 2% - dan itu berarti dalam basis yang berkelanjutan, dan bukan berarti kita akan menyentuh level itu hanya sekali," tutur dia. "Dan kami juga ingin melihatnya sesuai dengan jalur untuk bergerak moderat melampaui 2% untuk beberapa waktu."
Sementara itu, musim rilis laporan keuangan kuartal I-2021 dimulai pada pekan ini dengan ekspektasi bahwa kinerja emiten AS masih bakal positif. Beberapa emiten kakap yang akan merilis keuangannya pekan ini di antaranya adalah Goldman Sachs dan JPMorgan Chase.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari ini
Wall Street yang melemah di awal pekan tentunya mengirim hawa negatif ke pasar Asia pada perdagangan hari ini, Selasa (13/4/2021). Apalagi lonjakan kasus Covid-19 di India memperburuk sentimen pelaku pasar sejak awal pekan.
Sebelum India, lonjakan kasus Covid-19 juga melanda Eropa, bahkan dikatakan mengalami serangan gelombang ketiga. Hal tersebut menunjukkan meski vaksinasi sudah dilakukan, bukan berarti kehidupan bisa segera kembali normal.
Sejauh ini, AS masih menjadi negara dengan jumlah kasus Covid-19 terbanyak di dunia, tetapi penambahan kasusnya sudah melandai. Selain itu, dengan cepatnya vaksinasi yang dilakukan, perekonomiannya diperkirakan akan tumbuh tinggi, mengungguli negara-negara lainnya. Hal tersebut memberikan dampak yang besar di pasar finansial global, termasuk mempengaruhi aset-aset dari Indonesia.
IHSG sebenarnya masih mampu menguat, tetapi sejak pertengahan Maret lalu sedang dalam tren menurun.
Rupiah menjadi aset yang paling tertekan akibat pemulihan ekonomi AS. Sebab, indeks dolar AS menguat, ditambah dengan kenaikan yield Treasury yang memicu capital outflow di pasar SBN membuat rupiah tak berdaya. Rupiah sudah membukukan pelemahan panjang dalam 8 pekan beruntun.
Besarnya dampak pemulihan ekonomi AS tersebut membuat data inflasi yang akan dirilis hari ini akan dinanti pelaku pasar, dan disebut sebagai salah satu yang menjadi kekhawatiran. Sebab, inflasi di AS diperkirakan akan kembali ke level sebelum pandemi melanda, dan akan semakin tinggi dalam beberapa bulan ke depan. Jika itu terjadi, maka daya beli masyarakat akan menurun, begitu juga dengan margin korporasi akan tergerus, yang pada akhirnya akan memukul perekonomoian.
Inflasi juga merupakan salah satu acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneternya. Jika inflasi terus menanjak maka ekspektasi kenaikan suku bunga akan semakin menguat, dan memukul SBN, rupiah, begitu juga IHSG.
Meski The Fed berulang kali menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga hingga tahun 2023, tetapi pasar tidak percaya begitu saja. Sebab, The Fed sendiri merubah proyeksi pertumbuhan ekonomi AS tahun ini menjadi 6,5% dari prediksi sebelumnya 4,2%.
Besarnya revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut tidak diikuti dengan pembaharuan panduan kebijakan yang akan diambil, sehingga menimbulkan tanda-tanya di pasar, apakah benar The Fed baru akan menaikkan suku bunga di tahun 2023.
"Kebijakan moneter saat ini diterapkan untuk menghadapi ketidakpastian yang ditimbulkan dari krisis Covid-19. Tetapi, dengan perekonomian yang terus menunjukkan perbaikan serta kemajuan dalam vaksinasi membuat sulit untuk memahami bagaimana kebijakan dikalibrasi dengan benar sekarang," kata Bob Miller, head of Americas fundamental fixed income di BlackRock, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis lalu.
"Stance moneter yang darurat masih sama, meski saat ini tidak ada kondisi darurat" tambahnya.
 Foto: CME Group |
Oleh karena itu, muncul bisik-bisik di pasar The Fed akan menaikkan suku bunga di akhir tahun ini. Berdasarkan data dari perangkat FedWacth milik CME Group, pelaku pasar saat ini melihat probabilitas sebesar 7,2% The Fed akan menaikkan suku bunga di akhir tahun nanti, turun dari pekan lalu sebesar 10%.
Rilis data inflasi hari ini bisa mempengaruhi probabilitas tersebut, dan berdampak pada pasar keuangan Indonesia Rabu besok. Sehingga rilis inflasi tersebut akan membuat pelaku pasar lebih berhati-hati pada hari ini.
Selain itu, rilis data neraca dagang China juga akan mempengaruhi pergerakan pasar keuangan hari ini. Maklum saja, China merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia, data neraca dagang bisa menunjukkan bagaimana roda perekonomiannya berjalan, begitu juga secara global.
Jika impor mengalami kenaikan, artinya roda perekonomian China berputar dengan kencang, yang akan menguntungkan bagi negara-negara pengekspor komoditas seperti Indonesia. Begitu juga ketika ekspor China meningkat, berarti perekonomian global mulai membaik.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data neraca dagang China bulan Maret (waktu tentative)
- Rilis data tingkat keyakinan bisnis Australia bulan Maret (8:30 WIB)
- Rilis data PDB Inggris bulan Februari (13.00 WIB)
- Rilis data sentimen ekonomi Jerman dan zona euro bulan April (16.00 WIB)
- Rilis data inflasi AS bulan Maret (19.30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA