Newsletter

Ada Data Inflasi AS, Siap-siap IHSG-Rupiah Rontok Lagi!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 April 2021 06:14
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Jacquelyn Martin)
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Jacquelyn Martin)

Wall Street yang melemah di awal pekan tentunya mengirim hawa negatif ke pasar Asia pada perdagangan hari ini, Selasa (13/4/2021). Apalagi lonjakan kasus Covid-19 di India memperburuk sentimen pelaku pasar sejak awal pekan.

Sebelum India, lonjakan kasus Covid-19 juga melanda Eropa, bahkan dikatakan mengalami serangan gelombang ketiga. Hal tersebut menunjukkan meski vaksinasi sudah dilakukan, bukan berarti kehidupan bisa segera kembali normal.

Sejauh ini, AS masih menjadi negara dengan jumlah kasus Covid-19 terbanyak di dunia, tetapi penambahan kasusnya sudah melandai. Selain itu, dengan cepatnya vaksinasi yang dilakukan, perekonomiannya diperkirakan akan tumbuh tinggi, mengungguli negara-negara lainnya. Hal tersebut memberikan dampak yang besar di pasar finansial global, termasuk mempengaruhi aset-aset dari Indonesia.

IHSG sebenarnya masih mampu menguat, tetapi sejak pertengahan Maret lalu sedang dalam tren menurun.

Rupiah menjadi aset yang paling tertekan akibat pemulihan ekonomi AS. Sebab, indeks dolar AS menguat, ditambah dengan kenaikan yield Treasury yang memicu capital outflow di pasar SBN membuat rupiah tak berdaya. Rupiah sudah membukukan pelemahan panjang dalam 8 pekan beruntun.

Besarnya dampak pemulihan ekonomi AS tersebut membuat data inflasi yang akan dirilis hari ini akan dinanti pelaku pasar, dan disebut sebagai salah satu yang menjadi kekhawatiran. Sebab, inflasi di AS diperkirakan akan kembali ke level sebelum pandemi melanda, dan akan semakin tinggi dalam beberapa bulan ke depan. Jika itu terjadi, maka daya beli masyarakat akan menurun, begitu juga dengan margin korporasi akan tergerus, yang pada akhirnya akan memukul perekonomoian.

Inflasi juga merupakan salah satu acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneternya. Jika inflasi terus menanjak maka ekspektasi kenaikan suku bunga akan semakin menguat, dan memukul SBN, rupiah, begitu juga IHSG.

Meski The Fed berulang kali menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga hingga tahun 2023, tetapi pasar tidak percaya begitu saja. Sebab, The Fed sendiri merubah proyeksi pertumbuhan ekonomi AS tahun ini menjadi 6,5% dari prediksi sebelumnya 4,2%.

Besarnya revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut tidak diikuti dengan pembaharuan panduan kebijakan yang akan diambil, sehingga menimbulkan tanda-tanya di pasar, apakah benar The Fed baru akan menaikkan suku bunga di tahun 2023.

"Kebijakan moneter saat ini diterapkan untuk menghadapi ketidakpastian yang ditimbulkan dari krisis Covid-19. Tetapi, dengan perekonomian yang terus menunjukkan perbaikan serta kemajuan dalam vaksinasi membuat sulit untuk memahami bagaimana kebijakan dikalibrasi dengan benar sekarang," kata Bob Miller, head of Americas fundamental fixed income di BlackRock, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis lalu.

"Stance moneter yang darurat masih sama, meski saat ini tidak ada kondisi darurat" tambahnya.

idrFoto: CME Group

Oleh karena itu, muncul bisik-bisik di pasar The Fed akan menaikkan suku bunga di akhir tahun ini. Berdasarkan data dari perangkat FedWacth milik CME Group, pelaku pasar saat ini melihat probabilitas sebesar 7,2% The Fed akan menaikkan suku bunga di akhir tahun nanti, turun dari pekan lalu sebesar 10%.

Rilis data inflasi hari ini bisa mempengaruhi probabilitas tersebut, dan berdampak pada pasar keuangan Indonesia Rabu besok. Sehingga rilis inflasi tersebut akan membuat pelaku pasar lebih berhati-hati pada hari ini.

Selain itu, rilis data neraca dagang China juga akan mempengaruhi pergerakan pasar keuangan hari ini. Maklum saja, China merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia, data neraca dagang bisa menunjukkan bagaimana roda perekonomiannya berjalan, begitu juga secara global.

Jika impor mengalami kenaikan, artinya roda perekonomian China berputar dengan kencang, yang akan menguntungkan bagi negara-negara pengekspor komoditas seperti Indonesia. Begitu juga ketika ekspor China meningkat, berarti perekonomian global mulai membaik.

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular