
Lagi Sayang-sayangnya, Investor Tak Mau Lepas dari Dolar AS!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Apa boleh buat, investor sedang sayang-sayangnya terhadap mata uang Negeri Paman Sam.
Pada Jumat (9/4/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.530 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya alias stagnan.
Namun beberapa menit kemudian rupiah masuk jalur merah. Pada pukul 09:35 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.540 di mana rupiah melemah 0,07%.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,28% di hadapan dolar AS. Pelemahan ini mengakhiri tren penguatan rupiah selama tiga hari perdagangan beruntun.
Meski sempat menguat tiga hari berturut-turut, tetapi apresiasi rupiah sejatinya tipis saja. Dalam tiga hari tersebut, penguatan rupiah tercatat 0,21%. Rupiah masih sulit melaju kencang.
Well, investor memang sedang menjadikan dolar AS sebagai primadona. Berdasarkan survei dwi-mingguan Reuters, terlihat bahwa pelaku pasar cenderung mengambil posisi long (beli) terhadap greenback.
Hasil survei Reuters digambarkan dengan angka -3 sampai 3. Semakin tinggi angkanya, maka investor semakin long terhadap dolar AS.
Dalam survei 8 April 2021, seluruh mata uang utama Asia berada di teritori positif. Rupiah berada di angka 0,59, paling parah adalah peso Filipina yaitu 0,91.
![]() |
Halaman Selanjutnya --> Biden Tambah Perusahaan China yang Masuk Blacklist
Sementara dari sisi eksternal, ada kabar yang kurang enak dari hubungan AS-China. Pemerintahan Presiden AS Joseph 'Joe' Biden menambah perusahaan China yang masuk daftar hitam karena dituding terafiliasi dengan pihak militer.
Ada tujuh perusahaan yang masuk daftar hitam. Berikut nama-namanya:
- Tianjin Phytium Information Technology.
- Shanghai High-Performance Integrated Circuit Design Center.
- Sunway Microelectronics.
- National Supercomputing Center Jinan.
- National Supercomputing Center Shenzhen.
- National Supercomputing Center Wuxi.
- National Supercomputing Center Zhengzhou.
"Perusahaan-perusahaan tersebut terlibat dalam membangun komputer super yang digunakan oleh militer China untuk destabilisasi dan/atau program senjata pemusnah massal," sebut keterangan resmi Kementerian Perdagangan AS.
Di tengah pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang belum usai, ketegangan hubungan AS-China tentu tidak akan membantu. Malah menambah masalah, menambah beban, yang menghambat upaya menuju pemulihan ekonomi dunia.
Pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump, hubungan AS-China diwarnai perang dagang, perang investasi, sampai perang mata uang. Pelaku pasar (dan dunia) berharap Biden akan membuat relasi Washington-Beijin menjadi lebih adem, tetapi ternyata tidak jauh berbeda. Eks Wakil Presiden pada era pemerintahan Presiden Barack Hussein Obama itu ternyata masih galak terhadap China.
Perkembangan ini menambah ketidakpastian di pasar keuangan global. Akibatnya, investor cenderung bermain aman dan enggan mengoleksi aset-aset berisiko.
Sikap bermain aman itu ditunjukkan dengan keberpihakan kepada dolar AS. Permintaan dolar AS lagi-lagi meninggi, sehingga Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,02%. Sejak akhir 2020 (year-to-date), indeks ini sudah melesat 2,39%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'
