Sri Langka Blokir CPO, Prospek Saham Sawit ke Depan Gimana?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
08 April 2021 11:35
Bongkar Muat Minyak Crude Palm Oil (CPO) (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Baru-baru ini Sri Langka berencana untuk memboikot impor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan pembukaan perkebunan sawit yang baru. Kabar tersebut tampaknya tidak begitu memengaruhi harga kontrak CPO dan juga gerak saham emiten sawit Tanah Air.

Menurut data Refinitiv, dalam tiga hari belakangan, seiring tersiarnya kabar dari Sri Langka tersebut, harga kontrak CPO pengiriman Juni di Bursa Malaysia Derivatif Exchange mencatatkan tren penguatan.

Setelah ditutup di harga RM 3.737/ton pada 2 April lalu, harga CPO terus menanjak, misalnya, menjadi 0,05% ke RM 3.739/ton pada Senin (5/4). Kemudian, pada Selasa CPO kembali ditutup naik menjadi RM 3.802/ton pada Rabu (7/4). Terakhir, kemarin kontrak CPO ditutup menguat 1,13% ke RM 3.845/saham.

 

Adapun, saham emiten sawit bergerak beragam dalam beberapa hari terakhir. Dengan kata lain, tidak begitu dipengaruhi oleh sentimen pemblokiran sawit dari Sri Langka dan juga kenaikan harga kontrak CPO.

 

Pada pagi ini saja, saham-saham CPO bergerak variatif, dengan empat emiten menghijau, satu stagnan dan enam terbenam di zona merah.

 

Sementara, apabila menilik tabel di atas dari 11 emiten sawit tersebut 9 emiten mencatatkan rapor parah secara year to date (YTD). Saham emiten Grup Salim, SIMP, menjadi yang paling anjlok secara YTD, yakni ambles 22,62%. Kemudian, SSMS mengikuti di posisi kedua, dengan catatan anjlok 22%.

Merosotnya kinerja saham-saham emiten CPO tampaknya tidak mengikuti pergerakan harga CPO yang, meskipun fluktuatif, cenderung naik sejak awal tahun ini. Informasi saja, secara YTD, harga kontrak CPO sudah naik 3,25%.

Dalam sebulan pun, 8 emiten tercatat merosot, dengan MGRO menjadi yang paling ambles, yakni 9,09%. Sementara, emiten Grup Astra, AALI, di posisi kedua dengan merosot 8,76%.

Prospek Harga CPO Tahun Ini

Meskipun demikian, sejumlah analis dan ahli CPO memprediksi harga CPO akan lebih baik ketimbang tahun lalu. Kenaikan harga CPO ini diharapkan mampu mendongkrak fundamental emiten-emiten sawit Ibu Pertiwi.

Head of Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Hariyanto Wijaya, dalam risetnya pada 31 Maret lalu, menilai harga CPO kemungkinan akan kembali normal dalam beberapa bulan ke depan, sementara itu harga rata-rata (average selling price/ASP) full year 2021 akan lebih tinggi dari full year 2020.

"Harga spot CPO melonjak dari level terendah RM 2.022/ton pada 12 Mei 2020 menjadi RM 4.183/ton pada 25 Maret 2021 karena terganggunya pasokan minyak nabati karena efek keterlambatan waktu dari El Nino dan fenomena cuaca La Nina baru-baru ini yang menyebabkan tingkat persediaan CPO di Malaysia dan Indonesia, dua negara produsen CPO terbesar, turun ke level rendah," katanya dalam riset, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (8/4/2021).

Dia memaparkan, dalam forum Palm Oil Conference (POC) 2021 pada 24 Maret 2021, tiga peramal CPO terkemuka, yaitu Thomas Mielke, Dr. James Fry, dan Dorab Mistry, sepakat bahwa kenaikan harga CPO tinggi yang tidak biasa saat ini tidak berkelanjutan, dan harus dinormalisasi pada bulan-bulan mendatang.

Dari kisaran CPO yang diramalkan dari ketiga peramal CPO terkemuka tersebut, dapat disimpulkan bahwa meskipun harga CPO dapat dinormalisasi dalam beberapa bulan mendatang, harga jual rata-rata CPO sepanjang 2021 seharusnya lebih tinggi dari full year 2020.

Selain itu, Council of Palm Oil Producing Countries (CPOC) memprediksi, secara keseluruhan, prospek minyak sawit pada tahun 2021 terlihat lebih baik dibandingkan dengan harga rata-rata 2019 dan 2020.

CPOC berujar, hal tersebut akan tergantung pada perkembangan La Nina di kompleks kedelai di Amerika Selatan dan mandat biodiesel B30 Indonesia.

"Implementasi penuh dari mandat B30 di Indonesia dan mandat B20 di Malaysia sangat penting untuk menopang konsumsi domestik dan menyerap yang diantisipasi pertumbuhan pasokan minyak sawit. Situasi defisit dalam minyak nabati global akan mendorong harga CPO memasuki tahun 2021," pungkas CPOC dalam sebuah laporan berjudul Palm Oil Supplu and Demand Outlook Report 2021.

Sebelumnya, Pemerintah Sri Lanka dikabarkan melarang impor minyak sawit dan perkebunan kelapa sawit baru. Bahkan meminta produsen untuk mencabut perkebunan yang ada secara bertahap.

Dilansir dari Reuters, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mengatakan keputusan ini diambil untuk membuat negara tersebut bebas dari perkebunan kelapa sawit dan konsumsi minyak sawit.

"Perusahaan dan entitas yang telah melakukan budidaya (kelapa sawit) tersebut akan diwajibkan untuk menghapusnya secara bertahap dengan pencabutan 10% sekaligus dan menggantinya dengan budidaya karet atau tanaman ramah lingkungan setiap tahun," kata Rajapaksa dalam sebuah pernyataan pada dikutip Kamis (8/4/2021).

Sementara para ahli lingkungan mengatakan produksi minyak sawit juga telah menyebabkan deforestasi yang meluas dan kerusakan ekosistem.

Langkah mengejutkan yang diambil Pemerintah Sri Lanka tentu membingungkan industri minyak nabati, sebab negara tersebut merupakan produsen utama minyak kelapa.

Bahkan impor minyak sawit dan jumlah perkebunan cukup meningkat dalam beberapa tahun terakhir di sana.

Berdasarkan data Asosiasi Industri Minyak Sawit, Sri Lanka memiliki sekitar 11.000 hektar perkebunan kelapa sawit, lebih dari 1% dari total area yang ditanami teh, karet dan kelapa.

Selain itu, Sri Lanka sendiri mengimpor sekitar 200.000 ton minyak sawit setiap tahun, terutama dari Indonesia dan Malaysia. Mengacu pada data UN Comtrade ekspor minyak sawit dan turunannya baik yang diproses (refined) maupun tidak mencapai US$ 37 juta pada 2019.

Di tahun yang sama Indonesia memasok sekitar 42% dari total impor Sri Lanka yang hanya US$ 87,2 juta. Sementara total ekspor RI untuk komoditas dengan kode HS 1511 dua tahun silam mencapai US$ 14,7 miliar. Artinya pangsa ekspor Sri Lanka hanya 0,25%. Melihat angkanya jelas sangatlah kecil.

Indonesia lebih banyak mengekspor komoditas ini ke India dan China. Pada periode 2017-2019 RI mengekspor produk minyak sawit ke India rata-rata sebesar US$ 2,25 miliar sampai US$ 4,9 miliar.

Di saat yang sama RI mengekspor minyak sawit ke China sebesar US$ 2 miliar -US$ 2,5 miliar. Dari data ini saja jelas terlihat bahwa pangsa ekspor ke Sri Lanka tidak ada apa-apanya dibandingken ke India dan China.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular