
Sri Langka Blokir CPO, Prospek Saham Sawit ke Depan Gimana?

Jakarta, CNBC Indonesia - Baru-baru ini Sri Langka berencana untuk memboikot impor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan pembukaan perkebunan sawit yang baru. Kabar tersebut tampaknya tidak begitu memengaruhi harga kontrak CPO dan juga gerak saham emiten sawit Tanah Air.
Menurut data Refinitiv, dalam tiga hari belakangan, seiring tersiarnya kabar dari Sri Langka tersebut, harga kontrak CPO pengiriman Juni di Bursa Malaysia Derivatif Exchange mencatatkan tren penguatan.
Setelah ditutup di harga RM 3.737/ton pada 2 April lalu, harga CPO terus menanjak, misalnya, menjadi 0,05% ke RM 3.739/ton pada Senin (5/4). Kemudian, pada Selasa CPO kembali ditutup naik menjadi RM 3.802/ton pada Rabu (7/4). Terakhir, kemarin kontrak CPO ditutup menguat 1,13% ke RM 3.845/saham.
Adapun, saham emiten sawit bergerak beragam dalam beberapa hari terakhir. Dengan kata lain, tidak begitu dipengaruhi oleh sentimen pemblokiran sawit dari Sri Langka dan juga kenaikan harga kontrak CPO.
Pada pagi ini saja, saham-saham CPO bergerak variatif, dengan empat emiten menghijau, satu stagnan dan enam terbenam di zona merah.
Sementara, apabila menilik tabel di atas dari 11 emiten sawit tersebut 9 emiten mencatatkan rapor parah secara year to date (YTD). Saham emiten Grup Salim, SIMP, menjadi yang paling anjlok secara YTD, yakni ambles 22,62%. Kemudian, SSMS mengikuti di posisi kedua, dengan catatan anjlok 22%.
Merosotnya kinerja saham-saham emiten CPO tampaknya tidak mengikuti pergerakan harga CPO yang, meskipun fluktuatif, cenderung naik sejak awal tahun ini. Informasi saja, secara YTD, harga kontrak CPO sudah naik 3,25%.
Dalam sebulan pun, 8 emiten tercatat merosot, dengan MGRO menjadi yang paling ambles, yakni 9,09%. Sementara, emiten Grup Astra, AALI, di posisi kedua dengan merosot 8,76%.
Prospek Harga CPO Tahun Ini
Meskipun demikian, sejumlah analis dan ahli CPO memprediksi harga CPO akan lebih baik ketimbang tahun lalu. Kenaikan harga CPO ini diharapkan mampu mendongkrak fundamental emiten-emiten sawit Ibu Pertiwi.
Head of Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Hariyanto Wijaya, dalam risetnya pada 31 Maret lalu, menilai harga CPO kemungkinan akan kembali normal dalam beberapa bulan ke depan, sementara itu harga rata-rata (average selling price/ASP) full year 2021 akan lebih tinggi dari full year 2020.
"Harga spot CPO melonjak dari level terendah RM 2.022/ton pada 12 Mei 2020 menjadi RM 4.183/ton pada 25 Maret 2021 karena terganggunya pasokan minyak nabati karena efek keterlambatan waktu dari El Nino dan fenomena cuaca La Nina baru-baru ini yang menyebabkan tingkat persediaan CPO di Malaysia dan Indonesia, dua negara produsen CPO terbesar, turun ke level rendah," katanya dalam riset, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (8/4/2021).
Dia memaparkan, dalam forum Palm Oil Conference (POC) 2021 pada 24 Maret 2021, tiga peramal CPO terkemuka, yaitu Thomas Mielke, Dr. James Fry, dan Dorab Mistry, sepakat bahwa kenaikan harga CPO tinggi yang tidak biasa saat ini tidak berkelanjutan, dan harus dinormalisasi pada bulan-bulan mendatang.
Dari kisaran CPO yang diramalkan dari ketiga peramal CPO terkemuka tersebut, dapat disimpulkan bahwa meskipun harga CPO dapat dinormalisasi dalam beberapa bulan mendatang, harga jual rata-rata CPO sepanjang 2021 seharusnya lebih tinggi dari full year 2020.
Selain itu, Council of Palm Oil Producing Countries (CPOC) memprediksi, secara keseluruhan, prospek minyak sawit pada tahun 2021 terlihat lebih baik dibandingkan dengan harga rata-rata 2019 dan 2020.
CPOC berujar, hal tersebut akan tergantung pada perkembangan La Nina di kompleks kedelai di Amerika Selatan dan mandat biodiesel B30 Indonesia.
"Implementasi penuh dari mandat B30 di Indonesia dan mandat B20 di Malaysia sangat penting untuk menopang konsumsi domestik dan menyerap yang diantisipasi pertumbuhan pasokan minyak sawit. Situasi defisit dalam minyak nabati global akan mendorong harga CPO memasuki tahun 2021," pungkas CPOC dalam sebuah laporan berjudul Palm Oil Supplu and Demand Outlook Report 2021.