
Q1-2021: Rupiah Melemah 3%, Mata Uang Terbaik Jatuh Kepada...

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah cukup tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang kuartal I-2021. Namun, tidak hanya rupiah, semua mata uang utama Asia juga melemah, bahkan melansir data Refinitiv, hanya tujuh mata uang di dunia yang mampu menguat melawan the greenback.
Rupiah di akhir 2020 berada di level Rp 14.040/US$ sementara di akhir kuartal I-2021, Rabu (31/3/2021), berada di Rp 14.520/US$ artinya mengalami pelemahan 3,42%. Jika melihat tabel "klasemen" mata uang dunia berhadapan dengan dolar AS yang dihimpun Refinitiv, rupiah berada di urutan ke-21.
Dibandingkan mata uang utama Asia, rupiah masih lebih baik dari won Korea Selatan di urutan ke-23, baht Thailand di urutan ke-25, dan yen Jepang yang berada di posisi 33 dengan pelemahan 6,7%.
Rupiah masih kalah dari rupee India yang melemah tipis 0,1% yang berada di urutan ke-9, kemudian dolar Hong Kong dan yuan China berturut-turut di posisi 11 dan 12 dengan pelemahan 0,3% dan 0,4%.
![]() |
Dolar Taiwan, dolar Singapura, hingga ringgit Malaysia juga lebih baik dari rupiah. Tetapi pada intinya semua mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS di kuartal I-2021.
Mata uang terbaik di kuartal I-2021 jatuh pada Hryvnia Ukraina yang menguat 1,8% melawan dolar AS. Mata uang hyrvnia.
Penguatan hyrvnia sebenarnya sudah diprediksi sejak awal tahun ini. Hasil survei Reuters 5 Januari lalu menunjukkan hryvnia akan menguat pada semester I-2021, sebab ekspor yang mulai tumbuh serta pulihnya minat investor terhadap obligasi Ukraina.
13 analis yang disurvei Reuters saat itu memunculkan konsensus hryvnia akan menguat ke 27,6/US$, dari level saat itu 28,5/US$, artinya menguat lebih dari 3%. Sementara saat ini, hryvnia berada di kisaran 27,8/US$.
Di urutan kedua mata uang terbaik kuartal I jatuh kepada dolar Kanada yang menguat 1,4%, poundserling melengkapi tiga besar dengan menguat 0,8%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kenaikan Yield Treasury Buat Dolar AS Perkasa
Yield obligasi (Tresaury) AS tenor 10 tahun yang naik ke atas 1,7% dan berada di level tertinggi sejak Januari 2020 menjadi pemicu penguatan dolar AS.
Yield Treasury tersebut berada di level sebelum virus corona menjadi pandemi, dan bank sentral AS (The Fed) belum membabat habis suku bunganya serta mengaktifkan kembali program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan pada Maret 2020.
Ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat dari perkiraan, serta kenaikan inflasi membuat pelaku pasar melepas Treasury yang membuat yield-nya naik.
Alhasil, selisih yield Treasury dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit. Dengan status Indonesia yang merupakan negara emerging market, menyempitnya selisih yield membuat SBN menjadi kurang menarik, sehingga memicu capital outflow yang pada akhirnya menekan rupiah.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun ini hingga 29 Maret lalu, terjadi capital outflow sebesar Rp 26 triliun di pasar obligasi. Pada periode yang sama, nilai tukar rupiah melemah lebih dari 3%.
Menurut ekonom senior Chatib Basri, kondisi sekarang dinamakan tantrum without tapering alias pembalikan atau gejolak sudah terjadi padahal The Fed tidak menaikkan suku bunga acuan. Hal ini bisa terhenti atau tidak sangat bergantung pada kekuatan The Fed menjaga pergerakan pasar.
The Fed, kata Chatib mungkin akan mengambil langkah dengan intervensi pada yield Treasury. Caranya Bank Sentral membeli surat utang jangka panjang dari pasar. Tujuannya agar yield tidak terlalu tinggi.
"Kalau dilakukan maka ekspektasi inflasi bisa dikendalikan, itu berarti The Fed harus beli bond jangka panjang, harus stabilisasi," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (24/3/2021).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'
