
Ambles Nyaris 2%, Kinerja IHSG Terburuk di Asia

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ditutup ambles pada perdagangan kemarin sesi I Rabu (31/3/2021). Indeks bursa saham acuan nasional tersebut ditutup ambles hingga 1,78% ke level 5.963,46.
Kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) yang kembali terjadi dan rencana BPJS Ketenagakerjaan yang akan mengurangi porsi investasinya di reksadana dan saham menjadi katalis negatif bagi IHSG pada hari ini.
Data perdagangan mencatat sebanyak 108 saham terapresiasi, 368 terdepresiasi, dan sisanya 145 cenderung mendatar. Nilai transaksi bursa pada perdagangan sesi I hari ini mencapai Rp 5,3 triliun.
Investor asing tercatat membukukan penjualan bersih (net sell) senilai Rp 386 miliar di pasar reguler. Namun di pasar negosiasi dan tunai, asing tercatat membeli bersih sebesar Rp 12,8 miliar.
Saham-saham perbankan big cap menjadi incaran aksi jual investor asing, di mana asing melakukan penjualan bersih di saham PT Bank Central Asia Tbk (BCBA) sebesar Rp 187 miliar dan di PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar Rp 140 miliar.
Sedangkan beli bersih dilakukan asing di saham PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk (INKP) sebesar Rp 19 miliar dan PT PP Tbk (PTPP) sebesar Rp 11 miliar.
Sementara itu, bursa saham Asia mayoritas melemah pada perdagangan siang hari ini, di mana IHSG menjadi yang paling parah pelemahannya hari ini, sedangkan pelemahan terparah lainnya dialami oleh indeks saham Malaysia dan Filipina.
Hanya indeks KOSPI Korea Selatan dan indeks saham Thailand yang masih menguat pada perdagangan hari ini.
Koreksi di bursa nasional terjadi menyusul kombinasi tiga sentimen negatif dari dalam dan luar negeri yang menyergap bursa secara bersamaan. Sentimen negatif dari dalam negeri muncul dari wacana pengurangan investasi saham dan reksa dana BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek).
Sementara itu, risiko pelarian modal (capital outflow) kian membayang tekanan jual sejalan dengan kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) bertenor 10 tahun ke posisi tertinggi selama 14 bulan yakni di level 1,7%.
Tingginya imbal hasil obligasi acuan di AS tersebut bisa memicu penarikan dana dari pasar surat utang nasional, yang memicu pelemahan rupiah. Pada gilirannya, tekanan kurs membuat aset investasi asing di bursa saham menjadi tergerus nilainya ketika ditukarkan ke dolar AS.
Secara bersamaan, harga komoditas utama nasional berguguran di pasar global, seperti misalnya minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang anjlok 4,7% (ke RM 3.574/ton). Nikel turun 1,9% (ke US$ 15,897,5/ton), timah melemah 0,1% (ke US$ 25.282,5/ton), dan emas drop 1,7% (ke US$ 1.684,2/troy ounce).
Kenaikan hanya terjadi pada harga batu bara sebesar 0,9% (ke US$ 93,85/ton).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500