
Bos OJK Ingatkan Risiko Ini di Ekonomi RI, Waspada!

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengingatkan adanya risiko taper tantrum (gejolak pasar ketika bank sentral mulai mengetatkan kebijakan) karena normalisasi perekonomian Amerika Serikat (AS).
Dia mengatakan meski hal in masih menjadi isu di global namun sudah harus mulai diperhatikan oleh pemerintah di tahun ini.
"Bahkan terus terang aja kami juga secara harus ada mungkin Bu Menteri Keuangan [Sri Mulyani], Pak Gubernur Bank Indonesia [Perry Warjiyo] sadar ini sudah mulai ada taper tantrum, normalisasi kebijakan di Amerika Serikat. Masih isu tapi jadi perhatian kita juga jadi ada yang harus kita perhatikan di 2021," kata Wimboh dalam talkshow Temu Stakeholder Untuk Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional, Kamis (25/3/2021).
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam menanggapi kemungkinan taper tantrum ini telah menyampaikan berbagai kebijakan yang diambil oleh otoritas di Amerika Serikat (AS), the Fed, bisa turut berdampak kepada Indonesia.
"Situasi di mana pasar keuangan mendapatkan respon dari pasar dengan tidak baik terutama terkait meningkatnya inflasi dan bagaimana US Treasury membuat capital outflow dari market, ini perlu diperhatikan karena ini benar-benar memberi dampak," jelas Sri Mulyani dalam Fitch Indonesia Conference 2021 secara virtual, Rabu (24/3/2021).
Apa yang terjadi saat ini, membuat Sri Mulyani mengingat akan terjadinya taper tantrum pada 2013 silam. Kendati demikian, menurut Sri Mulyani kondisi ekonomi Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan kondisi pada 2013.
Misalnya saja kata dia neraca perdagangan sudah mulai surplus US$ 1,96 miliar pada Februari 2021, debt to GDP ratio atau rasio utang terhadap PDB Indonesia masih pada level rendah yakni 38% dan masih harus tetap diawasi.
"Ada dua sisi pisau yang melihat ekspor dan impor terutama impor capital good adalah faktor yang akan memberi dampak pada kecepatan perbaikan ekonomi Indonesia. Neraca perdagangan sudah mulai surplus, tapi kita sedang berupaya menarik investasi," ungkapnya.
"Kemudian ada beberapa fundamental lain yang juga harus diperhatikan, yakni termasuk di dalamnya reformasi struktural, kesehatan, jaring pengaman sosial, pembangunan infrastruktur serta iklim investasi yang perlu dilihat sebagai bentuk optimisme," kata Sri Mulyani melanjutkan.
Seperti diketahui, (imbal hasil) yield US Treasury mengalami kenaikan sampai dengan 85% menjadi 1,7% sejak akhir Januari. Hal ini mendorong kenaikan yield obligasi di banyak negara termasuk Indonesia sebesar 11%. Hal ini membuat dana asing terus mengalir ke luar negeri.
Taper tantrum adalah istilah yang biasa dilekatkan atas efek pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS, the Fed, pada 2013. Kebijakan itu langsung memukul kurs sejumlah negara berkembang.
Istilah ini disebut karena efek itu langsung muncul walaupun tindakan kebijakan moneter belum dilakukan. Pengumuman the Fed yang dimaksud saat itu ialah soal pengurangan kebijakan quantitative easing (QE) yakni mengurangi laju pembelian obligasi AS (US Treasury).
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article OJK Punya Segudang Rencana Untuk Pasar Modal RI, Apa Aja?
