Derasnya Outflow Asing Susah Ditahan, Kecuali Ini Terjadi!

MAIKEL JEFRIANDO, CNBC Indonesia
24 March 2021 10:38
valas
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Dana asing masih terus mengalir deras ke luar (outflow) pasar keuangan Tanah Air. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus bergerak ke zona merah, begitu juga dengan nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Sampai kapan outflow akan berakhir?

Bila merujuk ke cerita awal, outflow terjadi pascareaksi pasar terhadap ekonomi AS yang tergambar dalam kenaikan yield (imbal hasil) US Treasury yang cukup tajam. Kebijakan pemerintah AS yang agresif dinilai membuat ekonomi mereka akan pulih lebih cepat dari yang diperkirakan.

Hal itu dinilai bisa mendorong kenaikan inflasi sehingga diperkirakan bank sentral AS the Fed akan menaikkan suku bunga acuan. Kendati prediksi kenaikan inflasi ini dibantah oleh bank investasi Morgan Stanley.

"Saya tidak tahu seberapa inflasi sebenarnya ini. Sudah banyak pencetakan uang. Namun, yang harus kita lihat adalah velositasnya, yang artinya aktivitas ekonomi benar-benar mulai meningkat hingga benar-benar menciptakan inflasi. Dan kami belum melihatnya [tren inflasi naik]," katanya. Jim Caron, Manajer Portofolio Pendapatan Tetap Global Morgan Stanley, dikutip CNBC International.

Yield US Treasury kemudian mengalami kenaikan sampai dengan 85% menjadi 1,7% sejak akhir Januari. Hal ini mendorong kenaikan yield obligasi di banyak negara termasuk Indonesia sebesar 11% sebagaimana disampaikan Kementerian Keuangan.

Dalam periode yang sama dana asing terus keluar. Khusus pasar obligasi mencatat outflow Rp 31,63 triliun. Nilai tukar rupiah melemah cukup dalam dari posisi Rp 13.900 menjadi Rp 14.400.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia hingga Rabu pagi ini (24/3), net sell asing dalam sebulan terakhir mencapai Rp 1,15 triliun, dari awal tahun sampai saat ini atau year to date memang masih net buy (beli bersih) Rp 6,7 triliun di pasar reguler dan bila digabung dengan semua pasar mencapai Rp 10 triliun (pasar nego dan tunai).

The Fed sudah menegaskan akan tetap mempertahankan kebijakan moneter longgarnya tersebut demi pasar tenaga kerja dan ekonomi yang membaik. Meskipun inflasi tahun ini bisa menyentuh angka 2,2%, di atas rerata patokan yang biasa mereka pakai untuk mencegah mesin ekonomi terlalu panas (overheated).

Akan tetapi pelaku pasar tidak begitu percaya dengan pernyataan The Fed sehingga pasar bergerak sebaliknya, US Treasury terus saja naik mengabaikan bank sentral.

Pasar lebih memilih mengambil posisi sebelum kenaikan suku bunga acuan benar akan dinaikkan, sehingga terjadi tantrum without tapering.

Menurut ekonom senior Chatib Basri, kondisi sekarang dinamakan tantrum without tapering alias pembalikkan atau gejolak sudah terjadi padahal The Fed tidak menaikkan suku bunga acuan. Hal ini bisa terhenti atau tidak sangat bergantung pada kekuatan The Fed menjaga pergerakan pasar.

The Fed, kata Chatib mungkin akan mengambil langkah dengan intervensi pada yield UST. Caranya Bank Sentral membeli surat utang jangka panjang dari pasar. Tujuannya agar yield tidak terlalu tinggi.

"Kalau dilakukan maka ekspektasi inflasi bisa dikendalikan, itu berarti The Fed harus beli bond jangka panjang, harus stabilisasi," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (24/3/2021).

"Tapi bisa apa gak? Itu juga masih jadi pertanyaan, karena pasar AS kan besar. Bisa gak The Fed. Jadi pertarungannya di situ," jelas Mantan Menteri Keuangan tersebut.

Hal ini diperburuk apabila banyak negara berkembang tidak mengambil tindakan yang tepat. Seperti Brasil dan Turki yang baru saja menaikkan suku bunga acuan. Dampaknya ekonomi negara tersebut malah justru semakin memburuk.

"Jadi selama mood itu arahnya ke sana, termasuk dari negara-negara lain, maka outflow akan terjadi terus," kata Chatib.

Chatib menilai peran Bank Indonesia (BI) sudah cukup baik dalam menjaga kondisi ini. Terlihat pelemahan rupiah tidak menimbulkan kepanikan. Menurut Chatib, ini karena memang tidak ada lagi amunisi bank sentral untuk menahan rupiah agar tidak melemah.

"Pilihan buat BI cuma menaikkan tingkat bunga. Melepaskan rupiah atau mengontrol modal," jelasnya.

Pengaturan modal sudah dipastikan tidak bisa karena bertentangan dengan UU. Sementara itu, menaikkan suku bunga acuan akan memperburuk ekonomi dalam negeri yang sekarang dalam pemulihan.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Deskripsi Pasar Hari Ini: Tantrum Without Tapering!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular