
Kompak! Harga Komoditas Bertumbangan, Apa Pemicunya?

Harga minyak kembali menguat, setelah sehari sebelumnya mengalami pelemahan. Tetapi kenaikan harga minyak cenderung terbatas karena pandemi corona di Eropa yang kembali meningkat sehingga beberapa negara di Eropa kembali menerapkan karantina wilayah (lockdown) dan peningkatan stok minyak mentah AS menahan selera risiko dan meningkatkan kekhawatiran kelebihan pasokan.
Minyak mentah berjangka Brent naik 27 poin atau 0,4% menjadi US$ 61,06 per barel pada perdagangan Rabu pagi waktu setempat, setelah jatuh 5,9% dan mencapai level terendah US$ 60,50 pada hari sebelumnya. Sedangkan West Texas Intermediate (WTI) naik 19 poin atau 0,3% menjadi US$ 57,95 per barel, setelah kehilangan 6,2% dan menyentuh level terendah $ 57,32 pada hari Selasa waktu setempat.
Kedua benchmark minyak dunia tersebut sempat menyentuh level terendah sejak awal Februari pada Selasa kemarin dan kini telah jatuh lebih dari 14% dari level tertinggi baru-baru ini awal bulan ini.
Selisih (spread) antara Brent dan WTI kembali turun, di mana kontrak bulan depan lebih rendah daripada bulan-bulan berikutnya, sebuah tanda bahwa permintaan untuk minyak mentah segera menurun.
"Investor menyesuaikan posisi dari aksi jual tajam hari Selasa, namun sentimen pasar tetap bearish karena meningkatnya kekhawatiran tentang pemulihan permintaan setelah pembatasan pandemi baru di Eropa," kata Kazuhiko Saito, Head of Analyst di broker komoditas Fujitomi Co., dikutip dari Reuters.
Jerman sebagai negara konsumen minyak terbesar Eropa, terpaksa memperpanjang lockdown-nya hingga 18 April mendatang, dan Kanselir Angela Merkel mendesak warganya untuk tinggal di rumah selama lima hari selama liburan Paskah.
Kekhawatiran atas kecepatan pemulihan dari pandemi juga meningkat setelah badan kesehatan AS mengatakan vaksin AstraZeneca Plc. yang dikembangkan bersama Universitas Oxford mungkin memasukkan informasi yang telah kadaluarsa dalam datanya.
Sementara itu, sanksi hak asasi manusia terhadap China yang diberlakukan oleh AS, Eropa, Inggris dan kanada, yang juga mendorong sanksi balasan dari pihak Beijing juga menambah kekhawatiran pasar.
(chd/chd)