Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan sebagian besar komoditas pada perdagangan kemarin hingga pagi ini kompak mengalami pelemahan. Reli harga selama beberapa pekan di beberapa komoditas membuat investor komoditas merealisasikan keuntungannya pada pagi hari ini dan membuat harga-harga komoditas utama melemah bersamaan.
Untuk komoditas emas, pada pagi hari ini harganya melemah 0,67% ke level US$ 1.727,32/troy ons pada pukul 8:29 WIB, melansir data Refinitiv. Posisi tersebut masih belum jauh dari level terendah 9 bulan US$ 1.713,91/troy ons, yang dicapai pada 8 Maret lalu.
Yield Treasury AS yang menajak hingga ke level tertinggi sejak Januari 2020, sebelumnya membuat emas terus tertekan. Sebabnya, Treasury sama dengan emas merupakan aset aman (safe haven). Bedanya Treasury memberikan imbal hasil (yield) sementara emas tanpa imbal hasil.
Dengan kondisi tersebut, saat yield Treasury terus menanjak maka akan menjadi lebih menarik ketimbang emas. Sehingga emas menjadi kurang diuntungkan ketika yield Treasury menanjak, sebaliknya saat yield turun maka emas akan mendapat sentimen positif.
Namun, dalam 2 hari terakhir, yield Treasury terus menurun, tetapi nyatanya emas malah ikut menurun.
Kali ini, giliran indeks dolar AS yang membuat harga emas tertekan. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini melesat 0,65% ke 92,336, mendekati level tertinggi dalam 4 bulan terakhir.
Emas merupakan aset yang dibanderol dengan dolar AS, kala mata uang Paman Sam tersebut menguat, maka harganya menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya. Alhasil, permintaan emas berisiko berkurang dan harganya menurun.
Selain itu, emas masih belum merespon stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun yang digelontorkan oleh pemerintah AS dua pekan lalu
serta bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang menegaskan belum akan mengurangi stimulus moneter dalam waktu dekat.
Tepat satu tahun lalu, pemerintah AS juga menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun, dan The Fed membabat habis suku bunganya menjadi 0,25% serta mengaktifkan kembali program pembelian aset (quantitative easing/QE). Sejak saat itu, harga emas terus menanjak hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.072,49/troy ons pada 7 Agustus 2020.
Tetapi di tahun ini, stimulus fiskal dan moneter tersebut belum mampu mendongkrak harga emas dunia.
Apakah ini pertanda emas dunia tidak akan menguat lagi?
Chris Vermeulen, kepala strategi pasar di The Technical Traders mengatakan dalam jangka pendek harga emas masih akan tertekan, sementara dalam jangka panjang harga emas masih akan kembali menguat.
"Dalam jangka panjang saya bullish (tren naik) terhadap emas, tetapi dalam jangka pendek emas akan sulit untuk menguat," kata Vermeulen dalam wawancara dengan Kitco, Senin (24/3/2021).
Vermeulen juga mengatakan, ia memprediksi harga emas akan mencapai US$ 2.600/troy ons 2 tahun ke depan.
Harga batu bara termal ICE Newcastle ambruk setelah terbang menyentuh level tertingginya dalam dua tahun terakhir. Harga kontrak si batu hitam yang ramai ditransaksikan di bursa berjangka tersebut terkoreksi 3,86% dan ditutup di angka US$ 94,6/ton.
Harga kontrak batu legam terkena aksi ambil untung setelah sebelumnya melesat kencang dari level US$ 80,5/ton ke level US$ 98,4 /ton atau kenaikan sebesar 22,2% dalam kurun waktu 10 hari perdagangan.
Meski belum mampu menembus level keramat US$ 100/ton, level ini merupakan harga tertinggi batu bara dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Terakhir harga batu bara menyentuh level tersebut pada 8 Maret 2019.
Sebelumnya, Kenaikan harga batu bara mengekor naiknya harga batu bara domestik China. Di pasar batu bara domestik Cina, harga spot Qinhuangdao 5500kcal FOB NAR naik untuk dua minggu berturut-turut minggu lalu.
Harga acuan spot batu bara dengan kalori 5.500 kcal naik 4,9% menjadi RMB 638/ton. Apresiasi tersebut membuat harga batu bara domestik China tetap di atas batas atas yang disebut 'zona hijau' sebesar RMB 500 - RMB 570 per ton.
Zona hijau adalah rentang sasaran harga informal yang ditetapkan oleh pihak berwenang yang bertujuan untuk memastikan profitabilitas produsen batu bara domestik marjinal serta produsen listrik.
Otoritas China telah mendorong peningkatan pasokan domestik untuk menurunkan harga yang melesat tajam, sementara pelonggaran kontrol impor (dengan pengecualian larangan impor batu bara Australia) juga telah disetujui sejak pertengahan Desember.
Hubungan Australia dengan China memang belum menemukan resolusi. Menurut kabar terbaru, Perdana Menteri Australia Scott Morrison berkata setiap hanya akan mengakibatkan kerugian bagi kedua belah pihak.
Hubungan Negeri Kanguru dan Negeri Panda yang belum akur sebenarnya akan menguntungkan untuk para penambang dan eksportir batu bara asal Indonesia mengingat China adalah mitra dagang utama RI.
Ekspor bahan bakar mineral termasuk batu bara Indonesia bulan Februari secara volume turun 11% (mom) dibanding bulan sebelumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor Februari sebesar 34,2 juta ton sementara di bulan sebelumnya ekspor mencapai 38,5 juta ton.
Namun akibat adanya kenaikan harga batu bara, penurunan volume diimbangi dengan kenaikan total nilai ekspornya. Berdasarkan data BPS, total ekspor bahan bakar mineral RI bulan lalu mencapai US$ 1,97 miliar atau naik 4,92% dari bulan sebelumnya yang hanya US$ 1,88 miliar.
Harga minyak kembali menguat, setelah sehari sebelumnya mengalami pelemahan. Tetapi kenaikan harga minyak cenderung terbatas karena pandemi corona di Eropa yang kembali meningkat sehingga beberapa negara di Eropa kembali menerapkan karantina wilayah (lockdown) dan peningkatan stok minyak mentah AS menahan selera risiko dan meningkatkan kekhawatiran kelebihan pasokan.
Minyak mentah berjangka Brent naik 27 poin atau 0,4% menjadi US$ 61,06 per barel pada perdagangan Rabu pagi waktu setempat, setelah jatuh 5,9% dan mencapai level terendah US$ 60,50 pada hari sebelumnya. Sedangkan West Texas Intermediate (WTI) naik 19 poin atau 0,3% menjadi US$ 57,95 per barel, setelah kehilangan 6,2% dan menyentuh level terendah $ 57,32 pada hari Selasa waktu setempat.
Kedua benchmark minyak dunia tersebut sempat menyentuh level terendah sejak awal Februari pada Selasa kemarin dan kini telah jatuh lebih dari 14% dari level tertinggi baru-baru ini awal bulan ini.
Selisih (spread) antara Brent dan WTI kembali turun, di mana kontrak bulan depan lebih rendah daripada bulan-bulan berikutnya, sebuah tanda bahwa permintaan untuk minyak mentah segera menurun.
"Investor menyesuaikan posisi dari aksi jual tajam hari Selasa, namun sentimen pasar tetap bearish karena meningkatnya kekhawatiran tentang pemulihan permintaan setelah pembatasan pandemi baru di Eropa," kata Kazuhiko Saito, Head of Analyst di broker komoditas Fujitomi Co., dikutip dari Reuters.
Jerman sebagai negara konsumen minyak terbesar Eropa, terpaksa memperpanjang lockdown-nya hingga 18 April mendatang, dan Kanselir Angela Merkel mendesak warganya untuk tinggal di rumah selama lima hari selama liburan Paskah.
Kekhawatiran atas kecepatan pemulihan dari pandemi juga meningkat setelah badan kesehatan AS mengatakan vaksin AstraZeneca Plc. yang dikembangkan bersama Universitas Oxford mungkin memasukkan informasi yang telah kadaluarsa dalam datanya.
Sementara itu, sanksi hak asasi manusia terhadap China yang diberlakukan oleh AS, Eropa, Inggris dan kanada, yang juga mendorong sanksi balasan dari pihak Beijing juga menambah kekhawatiran pasar.
Kontrak berjangka minyak sawit mentah (CPO) di Bursa Malaysia Derivatives ditutup menguat pada penutupan Selasa kemarin, didukung oleh kinerja minyak kedelai yang lebih kuat di Chicago Board of Trade (CBOT) AS dan Dalian Commodity Exchange.
Pemilik dan salah satu pendiri Palm Oil Analytics yang berbasis di Singapura, Dr Sathia Varqa, mengatakan minyak kedelai naik 4,37 persen di CBOT sementara di Dalian, naik 300 poin hampir sepanjang hari.
"Ini semakin mendorong perdagangan minyak sawit di Bursa Malaysia Derivatives," katanya kepada Bernama, dikutip dari Reuters.
Sementara itu, pedagang minyak sawit David Ng menambahkan bahwa komoditas tersebut menguat berdasarkan kinerja yang kuat ini, sementara menemukan dukungan untuk tanaman ajaib di RM 3.850 dan resistensi di RM 4.030 per ton.
Di sisi lainnya, Sathia mengatakan, konfirmasi kenaikan pajak Indonesia pada April juga turut mengangkat harga CPO lokal pada penutupan perdagangan kemarin.
Indonesia secara resmi mengumumkan kenaikan pajak ekspor CPO menjadi US$ 116 untuk pengiriman April dari US$ 93 pada bulan Maret, setelah harga referensi yang dihitung adalah US$ 1.093,83 per ton atau naik US$ 57,61 bulan ke bulan. Ini adalah kenaikan harga referensi bulanan yang kesepuluh berturut-turut.
Kenaikan secara luas diharapkan setelah harga berjangka di Bursa Malaysia, harga tunai di Indonesia, dan di Rotterdam naik tajam lebih tinggi pada bulan Februari dan Maret didukung oleh kekurangan pasokan dan pulihnya permintaan ekspor.
"Pasar berjangka CPO mengupas sebagian besar kenaikan menjelang penutupan setelah data yang dirilis oleh Asosiasi Pabrik Kelapa Sawit Semenanjung Selatan menunjukkan produksi CPO untuk 1-20 Maret meningkat 20,05 persen dibandingkan dengan periode yang sama di Februari," katanya, menambahkan. produksi yang lebih tinggi berarti tekanan pada harga CPO.