Rupiah Awalnya Perkasa Kini Merana, Kok Bisa?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 March 2021 10:13
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Namun Tanah Air kini melemah perdagangan pasar spot.

Pada Selasa (23/2/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.421. Rupiah menguat 0,24% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Akan tetapi, nasib rupiah berbalik di pasar spot, rupiah juga menghijau. Kala pembukaan pasar, US$ 1 setara dengan Rp 14.380 di mana rupiah menguat 0,14%.

Namun kemudian rupiah masuk zona merah. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.415 di mana rupiah melemah 0,1%.

Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Asia pun melemah. Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia di perdagangan pasar spot pada pukul 10:03 WIB:

Halaman Selanjutnya --> Dolar AS Masih Bertaji

Well, sejatinya dolar AS masih dalam tren menguat. Pada pukul 09:11 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) naik 0,1%.

Dalam sebulan terakhir, Dollar Index terangkat 1,63% secara point-to-point. Sedangkan sejak akhir 2020 atau year-to-date, indeks ini melejit 2,11%.

Malam nanti waktu Indonesia, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome 'Jay' Powell dan Menteri Keuangan Janet Yellen akan memberi paparan di hadapan Kongres. Mereka akan memberi pandangan terhadap situasi ekonomi terkini.

Pasar akan menunggu pernyataan seputar imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang akhir-akhir ini melonjak tajam. Akhir pekan lalu, yield US Treasury Bonds tenor 10 tahun sempat berada di atas 1,7%, tertinggi dalam 14 bulan terakhir.

Pelaku pasar ingin mendapatkan petunjuk bagaimana otoritas moneter dan fiskal menyikapi hal ini. Kenaikan yield tentu tidak menguntungkan bagi pemerintah selaku penerbit obligasi karena yield di pasar sekunder akan menjadi acuan dalam pembentukan kupon saat lelang pasar primer. Ketika yield tinggi, pemerintah akan 'dipaksa' untuk memberikan kupon tinggi, yang menjadi beban buat anggaran negara.

Bagi otoritas moneter, kenaikan yield menandakan tingginya ekspektasi inflasi. Ketika inflasi terlalu tinggi, bahkan kalau sampai melampaui target 2%, maka kebijakan moneter perlu diarahkan ke cenderung ketat, tidak lagi ultra-longgar seperti sekarang.

"Yield obligasi pemerintah AS masih bisa naik lagi, dan pasar menanti sampai di batas mana toleransi pemerintah dan The Fed," ujar Minori Uchida, Chief Currency Analyst di MUFG Bank, seperti dikutip dari Reuters.

"Pasar ingin tahu seberapa tinggi yield bisa naik. The Fed memang menegaskan bahwa suku bunga rendah akan bertahan setidaknya sampai 2023, tetapi tentu ke depan akan semakin banyak suara yang berbeda," tambah Yukio Ishizuki, Senior Strategist di Daiwa Securities, juga diwartakan Reuters.

Sembari menunggu pernyataan dari Powell dan Yellen, pelaku pasar memilih bermain aman. Dolar AS, yang merupakan aset aman (safe haven), kembali jadi pilihan. Ini yang membuat mayoritas mata uang Asia melemah, termasuk rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular