
Tertibkan Sekuritas, OJK Rilis Aturan Baru Manajemen Risiko

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis aturan manajemen risiko untuk penerapan manajemen risiko di perusahaan efek (sekuritas) yang menjadi anggota bursa (AB).
Jika tidak memenuhi kebijakan manajemen risiko ini, perusahaan efek akan dikenakan sanksi berupa teguran hingga pencabutan izin usaha oleh OJK.
Aturan tersebut berada dalam POJK Nomor 6/POJK.04/2021 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Perusahaan Efek yang Melakukan Kegiatan Usaha Sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek yang Merupakan Anggota Bursa Efek.
Dalam aturan yang diteken Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso pada 12 Maret itu disebutkan bahwa perusahaan efek wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif.
Dalam pasal 3 ayat 2 disebut penerapan manajemen risiko ini mencakup:
- Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris dari Perusahaan Efek
- Kecukupan kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko serta penetapan limit Risiko
- Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko
- Sistem pengendalian internal yang menyeluruh
Terdapat beberapa risiko yang harus dikelola oleh perusahaan efek, yakni seperti dijelaskan dalam pasal 5 ayat 1 beleid tersebut, antara lain:
- Risiko operasional
- Risiko kredit
- Risiko pasar
- Risiko likuiditas
- Risiko kepatuhan
- Risiko Hukum
- Risiko reputasi
- Risiko strategis
Pelaksanaan manajemen risiko ini harus dilakukan secara bersama-sama oleh direksi dan komisaris perusahaan efek sesuai dengan wewenangnya masing-masing.
Disebutkan dalam pasal 9 bahwa kebijakan manajemen risiko tersebut setidaknya harus komprehensif dari segi strategi dengan menerapkan prinsip kehati-hatian. Ketersediaan modal perusahaan juga perlu diperhatikan dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, perusahaan efek juga harus mempersiapkan sistem deteksi dini dan melakukan identifikasi serta diversifikasi risiko. Sehingga nantinya risiko yang mungkin terjadi telah dapat dipantau, terukur dan dapat dimitigasi.
Perusahaan efek juga diminta untuk menentukan batasan risiko yang bisa dijalankan dan mempersiapkan rencana darurat jika berada dalam kondisi terburuknya.
Sebagai bentuk pengawasan, OJK akan meminta perusahaan efek untuk memberikan laporan penilaian manajemen risiko hingga 31 Desember tiap tahunnya. Laporan tersebut paling lama harus diserahkan kepada OJK pada 28 Februari tahun berikutnya, demikian disebutkan dalam pasal 19 ayat 1 dan 2.
Dalam hal perusahaan efek tidak memenuhi ketentuan tersebut, dalam pasal 21 ditegaskan bahwa OJK dapat mengenakan sanksi administratif kepada perusahaan efek. Sanksi tersebut bisa berupa:
- Peringatan tertulis
- Denda berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu
- Pembatasan kegiatan usaha
- Pembekuan kegiatan usaha
- Pencabutan izin usaha
- Pembatalan persetujuan
- Pembatalan pendaftaran
Aturan ini mulai berlaku sejak 17 Maret 2021 lalu dan ditetapkan pada 12 Maret 2021 oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.
Sebelumnya, sejumlah sekuritas atau perusahaan efek memang mendapatkan sanksi dari OJK dan Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan sejumlah catatan, termasuk belum memenuhi ketentuan Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) hingga soal transaksi margin dan short selling (jual kosong).
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dorong Kebangkitan UMKM, BRI Cermat Terapkan Risk Management
