Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Namun di perdagangan pasar spot, rupiah malah merah.
Pada Senin (22/3/2021), kurs tengah BI atau kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.456. Rupiah menguat 0,14% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Di pasar spot, nasib rupiah justru apes. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.420 di mana rupiah melemah 0,14%.
Namun depresiasi tidak dialami rupiah. Hampir seluruh mata uang utama Asia juga tidak berdaya melayani dolar AS. Sejauh ini hanya rupee India dan yen Jepang yang mampu membukukan apresiasi.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di 'gelanggang' pasar spot pada pukul 10:03 WIB:
Apa mau dikata, dolar AS memang kelewat perkasa. Pada pukul 09:12 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,18%.
Dalam sebulan terakhir, Dollar Index sudah naik hampir 2%. Sedangkan sejak akhir 2020 alias year-to-date, kenaikannya mencapai 2,39%.
Sepertinya mata uang negara-negara berkembang kena imbas kejadian di Turki. Akhir pekan lalu, Presiden Recep Tayyip Erdogan memecat gubernur bank sentral Turki (TCMB) Naci Agbal yang kemudian digantikan oleh Sahap Kavcioglu.
Kavcioglu punya latar belakang sebagai bankir dan anggota parlemen Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Parti) pimpinan Erdogan. Seperti Erdogan, Kavcioglu anti suku bunga tinggi yang dianggap sebagai 'biangnya setan'.
Semasa kepemimpinan Agbal, TCMB telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 875 basis poin (bps). Maklum, Turki dilanda 'penyakit' inflasi tinggi sehingga suku bunga harus dinaikkan untuk mengontrol peredaran uang.
Pengangkatan Kavcioglu direspons negatif oleh pasar. Nilai tukar lira Turki melemah tajam hingga 11,99% pada pukul 09:24 WIB.
Apa yang terjadi Turki memang unik, tidak dialami negara-negara lain. Namun anjloknya lira sedikit banyak mempengaruhi pandangan investor terhadap mata uang negara-negara berkembang.
"Negara berkembang lainnya tentu tidak dalam posisi yang sama seperti Turki. Namun tetap ada efek penularan. Kejadian di Turki menjadi pembenaran bagi pelaku pasar untuk mencairkan keuntungan (profit taking) di negara-negara berkembang lain," papar Masafumi Yamamoto, Chief Currency Strategist di Mizuho Securitites yang berbasis di Tokyo (Jepang), seperti dikutip dari Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA