FYI! Lawan Dolar AS, Rupiah Sudah Melemah 5 Pekan Beruntun

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 March 2021 09:00
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini. Dalam lima hari perdagangan, rupiah hanya mampu menguat sekali pada Kamis (18/3/2021) lalu.

Meski pelemahan tidak terlalu besar, tetapi rupiah kini sudah melemah dalam 5 pekan beruntun. Selama periode tersebut, Mata Uang Garuda melemah 3,08%.

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dan Bank Indonesia (BI) yang mengumumkan kebijakan moneter di pekan ini menjadi fokus utama pelaku pasar. Perhatian tertuju pada kebijakan moneter The Fed di saat yield obligasi (Treasury) AS terus menanjak.

Kenaikan tersebut membuat selisih dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) menyempit, dan memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia.

Yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun hari ini naik 6,9 basis poin ke 6,821%. Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield naik harga sedang turun begitu juga sebaliknya.

Ketika harga sedang turun, artinya sedang ada aksi jual. Sehingga kenaikan yield bisa menjadi indikasi adanya capital outflow di pasar obligasi, yang pada akhirnya menekan rupiah.

Melansir data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) pada periode 1 sampai 16 Maret, investor asing melepas kepemilikan SBN lebih Rp 20 triliun. Capital outflow tersebut lebih besar ketimbang sepanjang bulan Februari Rp 15 triliun.

Kemarin yield Treasury AS tenor 10 tahun 0,3 basis poin ke 1,7320%. Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak Januari 2020 atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan The Fed belum membabat habis suku bunganya menjadi 0,25% dan program quantitative easing (QE) belum dijalankan.

The Fed sebelumnya diperkirakan akan menjalankan Operation Twist guna meredam kenaikan yield tersebut.

Operation Twist dilakukan dengan menjual obligasi AS tenor pendek dan membeli tenor panjang, sehingga yield obligasi tenor pendek akan naik dan tenor panjang menurun. Hal tersebut dapat membuat kurva yield melandai.

Mark Cabana, ahli strategi suku bunga di Bank of America Global Research, mengatakan Operation Twist merupakan kebijakan yang sempurna untuk meredam gejolak di pasar obligasi.

"Operation Twist, dengan menjual obligasi tenor rendah dan membeli tenor panjang secara simultan adalah kebijakan yang sempurna menurut pandangan kami," kata Cabana, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (1/3/2021).

Nyatanya, dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed malah tidak mempermasalahkan kenaikan yield Treasury tersebut.

The Fed masih cukup nyaman dengan kenaikan yield Treasury, selama itu merupakan respon dari membaiknya perekonomian. Alhasil, yield Treasury terus menanjak dan terus menekan rupiah.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Yakin Rupiah Masih Akan Menguat

Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan. Ini sesuai dengan ekspektasi pasar.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Maret 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," sebut Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG edisi Maret 2021, Kamis (18/3/2021).

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 3,5%.

Untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional lebih lanjut, BI, kata Perry akan lebih mengoptimalkan kebijakan makroprudensial akomodatif, akselerasi pendalaman pasar uang, dukungan kebijakan internasional, serta digitalisasi sistem pembayaran.

BI juga menjelaskan perekonomian global berpotensi tumbuh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya, meskipun belum berjalan seimbang dari satu negara ke negara lain.

Di sisi lain, perbaikan perekonomian domestik diperkirakan akan berlanjut, didorong oleh pemulihan ekonomi global, implementasi vaksinasi, dan sinergi kebijakan nasional. Tercermin dari meningkatnya kinerja ekspor dan akselerasi program vaksin nasional dan disiplin penerapan protokol kesehatan Covid-19.

"Akselerasi program vaksin nasional dan disiplin dalam penerapan protokol Covid-19 diharapkan dapat mendukung proses pemulihan ekonomi domestik. Selain itu, untuk mendorong permintaan domestik lebih lanjut, sinergi kebijakan ekonomi nasional terus diperkuat," tuturnya.

"Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021 diprakirakan akan meningkat pada kisaran 4,3% sampai 5,3%," kata Perry melanjutkan.

Sementara itu, Hariyadi Ramelan, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter B, optimis rupiah akan menguat dalam jangka menengah dan panjang.

"Kita optimis ruang penguatan rupiah dalam jangka menengah dan panjang," ungkap Hariyadi Ramelan, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI di CNBC TV, Jumat (19/3/2021).

Hal ini didasari oleh pemulihan yang terjadi di negara maju mendorong dana asing mengalir ke negara berkembang, seperti Indonesia yang juga memiliki imbal hasil menarik bagi para investor.

Ketertarikan itu semakin diperkuat oleh fundamental ekonomi Indonesia yang terus membaik. Pertumbuhan ekonomi diproyeksi bisa mencapai 5%, inflasi terjaga rendah di 2% dan ketahanan eksternal juga terkendali.

"Apa yang dilakukan pemerintah dan otoritas, dengan Kemenkeu, vaksinasi prosesnya luar biasa dan dipantau investor global," jelasnya.

"Ke depan dengan recovery AS dengan suku bunga rendah, memberi ruang untuk penguatan rupiah. Likuiditas dolar di pasar akan banyak," tegas Hariyadi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular