BI Sebut Rupiah akan Kembali Menguat, Kapan nih?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
19 March 2021 17:27
ilustrasi uang
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (19/3/2021). Sepanjang pekan ini, Mata Uang Garuda juga melemah dengan persentase yang sama, dan dalam 4 hari perdagangan hanya mampu menguat sekali saja Kamis kemarin.

Meski dalam tren kurang bagus, tetap Bank Indonesia (BI) memprediksi ke depannya rupiah akan kembali menguat.

"Kita optimis ruang penguatan rupiah dalam jangka menengah dan panjang," ungkap Hariyadi Ramelan, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI di CNBC TV, Jumat (19/3/2021).

Hal ini didasari oleh pemulihan yang terjadi di negara maju mendorong dana asing mengalir ke negara berkembang, seperti Indonesia yang juga memiliki imbal hasil menarik bagi para investor.

Namun sayangnya saat ini dana asing justru mengalir keluar (capital outflow) akibat kenaikan yield obligasi (Treasury) AS. Sebab selisihnya dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menipis.

Melansir data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) pada periode 1 sampai 16 Maret, investor asing melepas kepemilikan SBN lebih Rp 20 triliun. Capital outflow tersebut lebih besar ketimbang sepanjang bulan Februari Rp 15 triliun.

Sementara pada hari ini, yield SBN tenor 10 tahun hari ini naik 7,3 basis poin ke 6,825%. Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield naik harga sedang turun begitu juga sebaliknya. Ketika harga sedang turun, artinya sedang ada aksi jual. Sehingga kenaikan yield bisa menjadi indikasi adanya capital outflow di pasar obligasi.

Kenaikan yield Treasury menjadi isu utama di pasar finansial tidak hanya di Indonesia tetapi secara global dalam beberapa pekan terakhir, sebab saat ini sudah mencapai level tertinggi satu tahun, sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan bank sentral AS (The Fed) belum membabat habis suku bunganya menjadi 0,25% dan mengaktifkan lagi program pembelian aset (quantitative easing/QE) pada Maret 2020 lalu.

Kenaikan tersebut tidak hanya membuat rupiah tertekan, mata uang lainnya bahkan banyak yang kinerjanya lebih buruk dari rupiah.

Sepanjang tahun ini (year-to-date/YtD) hingga Kamis kemarin, yield Treasury sudah naik 81,7 basis poin. Alhasil, nilai tukar rupiah pun terus tertekan. Pada periode yang sama, rupiah melemah 2,49%.

Namun, pelemahan rupiah tersebut masih lebih baik ketimbang, beberapa mata uang seperti peso Meksiko dan baht Thailand yang melemah 3,02% dan 2,8%. Real Brasil bahkan merosot lebih dari 7%.

Kenaikan yield Treasury menjadi biang kerok pelemahan mata uang emerging market.

The Fed sebelumnya diperkirakan akan menjalankan Operation Twist guna meredam kenaikan yield tersebut.

Operation Twist dilakukan dengan menjual obligasi AS tenor pendek dan membeli tenor panjang, sehingga yield obligasi tenor pendek akan naik dan tenor panjang menurun. Hal tersebut dapat membuat kurva yield melandai.

Mark Cabana, ahli strategi suku bunga di Bank of America Global Research, mengatakan Operation Twist merupakan kebijakan yang sempurna untuk meredam gejolak di pasar obligasi.

"Operation Twist, dengan menjual obligasi tenor rendah dan membeli tenor panjang secara simultan adalah kebijakan yang sempurna menurut pandangan kami," kata Cabana, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (1/3/2021).

Nyatanya, dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed malah tidak mempermasalahkan kenaikan yield Treasury tersebut.

The Fed masih cukup nyaman dengan kenaikan yield Treasury, selama itu merupakan respon dari membaiknya perekonomian.

Alhasil, yield Treasury terus naik, dan selama itu terjadi rupiah berisiko terus tertekan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Secara Teknikal, Rupiah Perlu Lewati MA 200 untuk Menguat

Secara teknikal, rupiah kini berada di atas rerata pergerakan (moving average) MA 200 hari, sebelumnya juga sudah melewati MA 50 (garis hijau), dan MA 100 (garis oranye). Artinya rupiah kini bergerak di atas 3 MA sehingga tekanan menjadi semakin besar.

Meski demikian, Selasa (9/3/2021) rupiah yang disimbolkan USD/IDR membentuk pola Shooting Star. Pola ini merupakan sinyal pembalikan arah, artinya USD/IDR berpotensi bergerak turun dengan kata lain rupiah berpeluang menguat. Pelemahan rupiah belakangan ini juga belum menyentuh ekor (ujung atas) pola Shooting Star. 

Potensi penguatan rupiah diperbesar oleh indikator stochastic berada di wilayah jenuh beli (overbought).

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.

Stochastic yang sudah berada di wilayah overbought dalam waktu yang cukup lama membuka ruang bangkitnya rupiah.

Untuk bisa menguat, rupiah pertama harus mampu menembus MA 200 di kisaran Rp 14.350-14.440/US$.

Jika mampu dilewati, target terdekat rupiah menguat ke Rp 14.200/US$.

Sebaliknya, selama tertahan di atas MA 200, rupiah berisiko masih terus tertekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular