
IHSG Kembali Tertekan, Ditutup Melemah 0,4% di Sesi 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka naik sangat tipis, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di jalur merah pada perdagangan sesi pertama Jumat (19/3/2021), di tengah minimnya sentimen positif dari dalam negeri.
IHSG dibuka naik 0,03% ke 6.346,00 tetapi kemudian berbalik melemah hingga berakhir di level 6.322,559 pada penutupan sesi pertama, atau turun 0,4% (25,3 poin). Menurut data RTI, sebanyak 161 saham menguat, 292 tertekan dan 177 lainnya flat.
Transaksi bursa kembali meningkat dengan 10 miliaran saham diperdagangkan, sebanyak 676.000-an kali. Namun, nilai transaksi bursa masih terbatas yakni sebesar Rp 5,4 triliun, atau jauh dari nilai transaksi di periode awal Januari yang menyentuh Rp 12 triliun (pada sesi 1 saja).
Investor asing memanfaatkan kesempatan itu untuk memborong saham sehingga mencetak pembelian bersih (net buy) Rp 86 miliar di pasar reguler. Saham yang diburu terutama adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang mencetak nilai transaksi Rp 169,3 miliar. Saham bank BUMN ini anjlok 1,05% (50 poin) ke Rp 4.710/saham.
Pelaku pasar mulai meninggalkan saham berbasis pertumbuhan, sehingga PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) kehilangan tahtanya sebagai saham dengan nilai transaksi terbesar. Kali ini PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang meraja dengan nilai transaksi Rp 268,8 miliar.
Koreksi di bursa nasional terjadi mengikuti Wall Street. Dow Jones Industrial Average anjlok 153,1 poin (-0,5%) ke 32.862,3 fajar tadi, sementara S&P 500 drop 58,7 poin (-1,48%) ke 3.915,46. Nasdaq bablas 409 poin (-3,02%) ke 13.116,17 dipicu koreksi saham teknologi.
Hal ini terjadi setelah yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun kembali lompat 11 basis poin menjadi 1,75%, menjadi yang tertinggi sejak Januari 2020. Pagi tadi, imbal hasil masih tinggi yakni di angka 1,706%.
Kenaikan imbal hasil terjadi sehari setelah bank sentral AS menyatakan bahwa kebijakan moneter ekstra longgar akan dipertahankan meski inflasi bisa menyentuh 2,2%. Inflasi tinggi memicu kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah di AS.
Akibatnya, daya tarik obligasi di pasar negara berkembang pun memudar, sehingga memicu capital outflow (keluarnya dana asing dari bursa). Tak ayal, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia juga meningkat, dan mendongkrak biaya penggalian dana para emiten.
Hal ini dikhawatirkan memicu tekanan terhadap kinerja emiten, terutama karena saat ini efek pandemi masih berdampak pada kinerja keuangan mereka. Reli harga saham yang belakangan terjadi pun dikhawatirkan terlalu berlebihan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Asing Pilih Obral Saham, IHSG Bertahan di Jalur Hijau