
Nasib Kurang Mujur, IHSG Terkoyak Minus 3% di Minggu ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup perdagangan pekan ini dengan apresiasi 0,43%. Indeks harga saham acuan dalam negeri itu bergerak dengan volatilitas tinggi pada perdagangan kemarin, Kamis (1/4/2021).
Hari ini adalah tanggal merah karena memperingati Jumat Agung sebelum Hari Raya Paskah. Bursa kawasan Asia juga banyak yang libur. Jika dihitung-hitung, IHSG mencatatkan koreksi sebesar nyaris 3%.
Kuartal pertama tahun 2021 juga sudah berlalu. Performa IHSG pun tak memuaskan karena hanya menguat tipis dan cenderung stagnan setelah naik 0,05%. Belakangan ini IHSG memang cenderung terkoreksi. Banyak saham yang menjadi bulan-bulanan pelaku pasar.
Tekanan di pasar saham Tanah Air datang baik dari dalam maupun luar negeri.
Dari dalam negeri sentimen negatif datang dari kebijakan manajemen BPJS Ketenagakerjaan yang akan mengurangi porsi investasi di saham dan reksa dana.
Diketahui BPJSTK merupakan salah satu investor institusi raksasa. Sehingga apabila porsi investasi dikerdilkan berpotensi adanya arus uang keluar dari pasar modal dalam jumlah yang lumayan.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo mengungkapkan rencana pengurangan investasi tersebut dalam rapat dengar pendapat bersama Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan dan Komisi IX DPR, pekan ini.
Langkah tersebut dilakukan dalam rangka Asset Matching Liabilities (ALMA) Jaminan Hari Tua (JHT). Ada tiga strategi yang disampaikan BP Jamsostek.
Sementara itu sentimen negatif yang berasal dari luar negeri adalah badai margin call yang menimpa saham perbankan AS juga memicu kekhawatiran seputar efeknya terhadap pasar keuangan global. Beberapa saham perbankan mengakui terkena forced sell (jual paksa) atas posisinya di short selling (jual kosong).
Pelaku pasar juga turut mencermati pergerakan yield surat utang AS tenor panjang yang terus menerus naik. Imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun sempat menyentuh 1,75% dan mengungguli imbal hasil dari dividen S&P 500 yang hanya 1,5%.
Surat utang merupakan instrumen investasi yang relatif lebih aman ketimbang saham. Namun ketika obligasi memberikan imbal hasil yang lebih menarik maka opportunity cost memegang saham menjadi naik dan kurang menarik.
Di sisi lain kenaikan yield seolah mengisyaratkan kenaikan biaya meminjam (borrowing cost). Pasar mengantisipasi kalau-kalau The Fed akan mengetatkan likuiditas lewat tapering.
Kenaikan yield obligasi pemerintah AS juga memicu kenaikan yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun. Naiknya yield berarti harga SBN sedang melemah. Yield SBN dan harga saham juga berkorelasi negatif, sehingga kenaikan imbal hasil SBN juga berdampak pada koreksi harga saham di dalam negeri.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500