Sudah 5 Tahun Saham UNVR Gak ke Mana-mana, Kenapa ya?

Tri Putra, CNBC Indonesia
18 March 2021 08:25
Unilever (REUTERS/Philippe Wojazer)
Foto: Unilever (REUTERS/Philippe Wojazer)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2021 diprediksikan bukan menjadi tahun yang bersahabat untuk sektor barang-barang konsumsi alias consumer goods. Pasalnya sifat dasar sektor ini cenderung defensif, meski krisis atau perlambatan ekonomi, tidak akan terlalu mempengaruhi kinerja perusahaan dari sektor ini.

Saat terjadi krisis, saham-saham dari sektor ini cenderung kuat bertahan, pasalnya orang-orang tetap akan mandi dan mengonsumsi makan, sehingga produk jualan perusahaan consumer goods tetap akan terjual.

Namun berbeda dengan krisis yang dipicu oleh pandemi Covid-19, situasi ini tampaknya menjadi sektor konsumer akan ditinggalkan, karena 2021 digadang-gadang akan menjadi tahun pemulihan ekonomi.

Nah sama seperti ketika terjadi krisis, tentu saja orang-orang tidak akan mandi dan makan lebih banyak dalam sehari ketika ekonomi sedang berekspansi, sehingga kinerja perusahaan akan tetap so so saja.

Lain halnya dengan sektor cyclical, di mana sektor kinerjanya akan bergerak beriringan dengan ekspansi atau kontraksi ekonomi, seperti sektor perbankan, apabila terjadi kontraksi ekonomi maka orang akan enggan mengambil kredit, sehingga kinerja perbankan akan tertekan.

Tapi apabila ekonomi sedang ekspansi, maka orang-orang akan ramai-ramai mengambil kredit baik untuk konsumsi maupun untuk melakukan ekspansi usaha sehingga kinerja sektor-sektor perbankan akan melesat.

Nah, tentu saja kinerja sahamnya juga akan bergerak beriringan dengan kinerja sektornya. Hal ini dapat dilihat terjadinya pergeseran sektor dari tahun sebelumnya, di mana institusi raksasa memarkir dananya di saham defensif sudah mulai mengalihkan dananya ke saham sektoral.

Tentu saja pergeseran sektor ini menyebabkan saham-saham defensif, salah satunya saham consumer goods harganya tertekan dan menjadi kurang menarik untuk dilirik.

Salah satu saham-saham consumer goods tersebut adalah PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) yang sahamnya sudah tertekan cukup parah 7,83%. Bahkan UNVR tercatat sudah ambles 11,9% sejak awal tahun.

Adanya pergeseran smart money dari saham-saham defensif juga terkonfirmasi di saham UNVR, dengan adanya aksi jual asing yang masih di saham ini di mana investor asing sudah melego saham UNVR sebanyak Rp 5,3 miliar sejak awal tahun.

Buruknya kinerja harga saham UNVR sebenarnya sangat disayangkan, mengingat belum lama ini perseroan baru saja melakukan aksi korporasi pemecahan saham alias stock split, di mana pada awal tahun 2020, saham UNVR dipecah 1:5.

Saham yang hendak atau sudah melakukan aksi korporasi ini biasanya harga sahamnya akan terus menanjak, sebelum dan setelah sahamnya dipecah. Sebut saja saham PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA), yang baru saja mendapat persetujuan untuk memecah sahamnya sehingga harganya terus reli 28,63% dari awal tahun.

Selanjutnya muncul pula nama-nama besar lain, seperti PT Mayora Indah Tbk (MYOR), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Barito Pacific Tbk (BRPT), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), bahkan di luar negeri ada pula saham emiten mobil listrik Tesla Inc yang semuanya melesat kencang, setelah saham perseroan 'dipecah belah'.

Ya memang tujuan utama pemecahan saham adalah, agar harga saham lebih mudah diakses oleh investor kecil alias ritel, sehingga aksesibilitas saham lebih terjamah oleh semua segmen. Selain itu juga meningkatkan likuiditas saham serta agar saham tersebut 'terkesan' lebih murah.

Akan tetapi nyatanya hal tersebut tak berlaku terhadap UNVR. Sejak stock split di awal 2020, ternyata saham UNVR bukanya melesat seperti kawan-lawanya yang lain malah ambrol 22,91%. Bila ditarik lebih panjang sejak awal 2018, saham UNVR sudah anjlok parah 42,08%.

Permasalahan UNVR sejatinya bukan terletak pada perusahaannya, siapa tak kenal produk Unilever. Mulai dari es krim Walls, sabun Lifebouy, hingga deterjen Rinso nama-nama yang dikenal, dipergunakan, dan bergesekan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Produk-produk ini merupakan produk Unilever Indonesia.

Pengelolaan perusahaan, alias good corporate governance (GCG) juga cenderung baik. Perseroan dikelola langsung oleh group Unilever International yang masuk melalui holdingnya di Indonesia. Selain itu tidak banyak pula transaksi afiliasi yang bisa membuat investor mengangkat alis dan mempertanyakan tata kelola perusahaan.

Bahkan kinerja perusahaan tergolong 'ajaib' di mana UNVR merupakan perusahaan dengan Return on Equity (ROE) dan Return on Asset (ROA) terbesar dari seluruh emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.

Bayangkan saja imbal hasil aset terhadap pendapatan bersih UNVR alias ROA mencapai angka 34,8% bahkan apabila menggunakan imbal hasil ekuitas alias ROE angka ini akan membengkak menjadi 145,09% jauh lebih tinggi daripada perusahaan Big Cap lain yang hanya memiliki ROE belasan persen.

Ini artinya setiap tahunya UNVR mampu membukukan laba bersih lebih banyak daripada ekuitasnya, bahkan di tahun pandemi sekalipun. Tercatat UNVR pada 2020 mampu membukukan laba bersih Rp 9,47 triliun, di mana angka ini jauh lebih besar dari ekuitasnya yang 'hanya' Rp 4,94 triliun.

Profitabilitas UNVR yang besar tentunya tidak lepas dari produk Unilever yang mempunyai margin keuntungan yang tinggi, yang ditunjukkan oleh Gross Profit Margin (GPM) UNVR yang berada di angka 52,26%. Ini artinya biaya produksi produk Unilever tidak sampai separuh harga jual pasarnya.

Nah hal ini tentu saja membuat para investor bertanya-tanya, jadi apa yang salah dengan saham UNVR? Perusahaannya oke, produknya oke, ternyata harga sahamnya yang kurang oke, di mana valuasi saham UNVR yang sudah tergolong sangat premium.

Tercatat apabila menggunakan metode valuasi harga dibandingkan dengan nilai buku alias PBV, maka saat ini UNVR ditransaksikan 50,03 kali lipat nilai bukunya. Angka ini tentu saja tergolong premium apabila dibandingkan dengan rata-rata PBV saham consumer goods di angka 3,8 kali atau rule of thumb dimana saham dengan PBV di atas 2 kali sudah dapat digolongkan mahal.

Sedangkan apabila menggunakan metode valuasi harga dibandingkan dengan laba bersihnya alias PER, maka saat ini UNVR ditransaksikan 34,48 kali lipat laba bersihnya. Angka ini lagi-lagi tergolong premium, apabila dibandingkan dengan rata-rata PER saham consumer goods di angka 18,5 kali, atau rule of thumb di mana saham dengan PER di atas 20 kali sudah dapat digolongkan mahal.

Selain itu perseroan juga sudah tergolong mature, yang ditunjukkan dengan keberanian perseroan membagikan seluruh laba bersihnya sebagai dividen dalam tahun-tahun terakhir sebelum terjadinya pandemi. Sehingga perseroan tak lagi melakukan ekspansi usaha dan pendapatan perusahan menjadi stuck di situ-situ saja.

Tercatat selama 5 tahun terakhir, omset perusahaan rata-rata hanya mampu tumbuh sebanyak 1,78% per tahun. Tentu saja pertumbuhan ini sangat rendah, apalagi mengingat angka ini berada di bawah inflasi Indonesia selama 5 tahun terakhir yang berada di kisaran 3% - 5%.

Tentu saja valuasi perusahaan baik PBV maupun PER yang sudah sangat premium, dan fakta bahwa perseroan sudah tergolong mature, menyebabkan perlahan-lahan harga saham UNVR terkoreksi dan mencari keseimbangan baru.


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular