Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan harga saham PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang melesat 268% dalam 3 bulan terakhir sampai Jumat (13/3) pekan lalu di level Rp 11.375/saham membuat para pelaku pasar dan investor kawakan di pasar modal buka suara, salah satunya Hasan Zein Mahmud, Direktur Utama Bursa Efek Jakarta (BEJ) periode pertama (1991-1996).
Mantan Dirut Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) era 2003 ini menilai pergerakan ARTO luar biasa mengingat dari harga penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) Rp 132/saham pada 5 tahun lalu, kini sahamnya meroket di level tertinggi Rp 11.900/saham di awal tahun ini.
Sebagai catatan, bank yang dulu bernama PT Bank Artos Indonesia Tbk. ini tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa (12/1/2016). Bank yang sebelumnya berkantor pusat di Bandung, Jawa Barat, ini menjadi emiten ke-522 saat itu dengan mencatatkan 1,19 miliar saham dengan kapitalisasi Rp 157,63 miliar.
Penjamin emisinya saat itu PT Binaartha Parama dan PT Erdikha Elit Sekuritas. Kala itu ARTO menawarkan saham baru sebanyak 241,25 juta dan mencatatkan 952,93 juta saham perseroan, sehingga total saham yang dicatat di BEI sebanyak 1,19 miliar saham dengan harga IPO Rp 132/saham.
Perseroan mengantongi dana Rp 31,84 miliar dari gelaran IPO dengan total kapitalisasi pasar Rp 157,63 miliar. Kini harga sahamnya Rp 11.375/saham sehingga sahamnya sudah melesat 8.517% dan kapitalisasi pasar Rp 124 triliun.
"Kenaikan hampir 100 kali lipat dalam kurun waktu 5 tahun. Lebih fenomenal ketimbang saham TSLA [saham Tesla di Nasdaq]. Lebih spektakuler dari BERK.A [Saham Class A Berkshire Hathaway] yang harga sahamnya pernah mencapai US$ 4.000 per saham [Rp 56 juta/saham]," kata Hasan, dalam tulisannya, dikutip CNBC Indonesia, Senin (14/3/2021).
"ARTO memang spektakuler. Dari bank papan bawah yang tidak dilirik, menyodok menjadi saham berkapitalisasi di atas Rp 100 triliun. Menyalip BBNI [Bank Negara Indonesia], BRIS [Bank Syariah Indonesia], INDF [Indofood Sukses Makmur] dan CPIN [Charoen Pokphand Indonesia] dan banyak lagi. Meraup lebih dari Rp 7 triliun dari emisi HMETD [rights issue] yang jadi rebutan," katanya lagi.
Dia menjelaskan, berdasarkan data BEI, gerak ARTO memang fantastis. Jika menggunakan PBV (price to book value) sebagai tolok ukur konvensional sektor perbankan, PBV ARTO lebih dari 100 kali. Price Earning Ratio-nya atau PER minus 651 x, dan net profit margin (NPM) minus 164%.
"Saya jujur sama sekali tidak berani membeli saham ARTO. Ilmu saya belum sampai ke tingkat itu. Boleh jadi tolok ukur konvensioanl tak layak digunakan untuk bank digital. Boleh jadi perusahaan rintisan, atau "dirintis secara sistematis" memang memiliki potensi pertumbuhan eskponensial," katanya.
"Boleh jadi pengguna jasa Gojek yang berjumlah 38 juta akan serta merta menjadi nasabah ARTO, lalu ditambah dengan pengguna jasa Tokopedia, sehingga nasabah ARTO akan jauh melampaui jumlah nasabah bank manapun di Indonesia."
"Boleh jadi tiap nasabah akan mengendapkan saldonya di ARTO dalam rata rata tidak kurang dari US$ 700. Boleh jadi pelanggan Gojek dan Tokopedia sebagian besar akan menjadi debitur ARTO, tanpa macet. Boleh jadi kumulatif kerugian selama empat tahun terakhir, akan segera ditutup dengan keuntungan seketika, begitu ARTO berkawin dengan Gojek," jelasnya lagi.
Sebab itu, dia meyakini ada analisis lain yang di luar konvensional dan membuatnya belum berani masuk ke saham ARTO.
"Masih banyak boleh jadi yang lain. Membuat saya makin takut. Ilmu saya belum sampai ke tingkat itu."
Sebab itu, Hasan membandingkannya dengan saham BUMN PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM).
NEXT: Analisis digitalisasi
Hasan pun membandingkan saham ARTO dengan saham big cap lainnya, termasuk BUMN Telkom.
"Saya lebih memilih yang konvensional konvensional saja. Ilmu saya baru mampu mendekati tingkat itu. Untuk mulai dengan transparansi, saya perlu men-disclose bahwa 50 % nilai portfolio saya ditempati oleh saham TLKM. Mungkin ada kaitannya juga dengan gegap gempita ARTO. Karena TLKM punya andil di Gojek. Dan Gojek punya penyertaan di LinkAja. Siapa tahu TLKM ikut kecipratan berkah ARTO," katanya.
Data BEI mencatat, saham TLKM ditutup di level Rp 3.450/saham pada Jumat lalu (13/3), dengan kapitalisasi pasar Rp 341 triliun. Sepekan sahamnya naik 3,92% dan sebulan naik 8,15%. Dalam 6 bulan terakhir saham induk Telkomsel ini melesat 21%.
"Memilih TLKM membuktikan bahwa analisis saya masih sangat konvensional. Ilmu saya baru sampai ke tingkat itu," kata Hasan.
Dia menganalisis, TLKM itu punya beberapa keunggulan. Pertama, berada di industri yang strategis dan punya posisi leading dalam industri itu.
Kedua, memiliki jaringan dan infrastruktur yang tidak akan terkejar oleh peers (pesaingnya).
"Kecuali TLKM jalan di tempat. Ketiga, memiliki barisan "cash cow" yang lengkap dan subur kalau dikelola dengan apik. Ada Telkomsel, Indihome, Mitratel, MDI Ventures, Link Aja dst. Keempat, struktur yang gendut, lamban dan tidak efisien, tampaknya sedang dibenahi dengan serius."
"Boleh jadi ARTO ditakdirkan menjadi distributor harta karun jaman modern. Aku nonton saja di pinggiran. Sambil berceloteh sebagai penonton yang terpesona," katanya.
Hanya saja, Hasan juga menganalisis potensi digitalisasi ke depan yang akan menjadi sentimen positif bagi emiten yang memanfaatkan digitalisasi ini.
Pertama, pemanfaatan data nasabah akan mempercepat dan memudahkan pelayanan nasabah. Sebagian besar pekerjaan administratif bisa dilakukan oleh nasabah sendiri. Kebutuhan ruang, jumlah tenaga pegawai dan waktu bisa diminimalkan, tak membutuhkan cabang dan unit pelayanan yang besar. Akibatnya biaya operasi akan sangat murah.
Kedua, kerja sama dengan unicorn penyedia aplikasi bisnis online membuka jaringan yang luas. Jumlah nasabah/pemakai jasa adalah kekayaan sebenarnya sebuah bank, juga bisnis online. Gojek memiliki 38 pengguna jasa. LinkAja mencapai lebih dari 50 juta. Jumlah yang nyaris mustahil dicapai tanpa kolaborasi.
"Tanpa digitalisasi. Dari situ potensi DPK [dana pihak ketiga] yang besar. Nyaris captive market."
Ketiga, sumber dana super murah. Saldo yang selama ini mengendap di fintech praktis tanpa biaya dana. Dana ini akan menjadi DPK bank digital
Namun ada beberapa constrains atau batasan yang boleh jadi lupa diperhitungkan di tengah euforia yang gegap gempita digitalisasi.
Pertama, pengguna jasa Gojek itu, diakui, mayoritas adalah unbanked dan underbanked. "Berharap ada saldo mengendap rata rata US$ 700, (rata rata ASEAN), agak berlebihan. Konon ada uang mengendap Rp 30 triliun di Gopay. Kalau pengguna jasanya 38 juta, artinya rata rata hanya kurang dari Rp 800.000," jelasnya.
Kedua, bank digital bukan cuma ARTO. Digibank milik DBS Bank Indonesia yang berada dalam satu grup dengan bank besar (BUKU IV) akan memiliki keunggulan tersendiri.
Ketiga, pengembangan teknologi memerlukan biaya besar dan keempat dari kacamata penjaminan dana, kreativitas pengembangan produk dibatasi oleh ketentuan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Kelima, mobilisasi DPK adalah suatu hal. "Menyalurkan kredit merupakan hal yang berbeda. Bukankah unbanked itu artinya tidak bankable dari kacamata penyaluran kredit."
Penyaluran kredit UMKM saja, merupakan persoalan yang tak mudah. "Di Indonesia, hingga saat ini baru BBRI [Bank Rakyat Indonesia] yang telah membuktikan keberhasilan menyalurkan dana ke segmen mikro. Apatah lagi kredit ke unbanked people?
"Pasar digerakkan oleh persepsi. Persepsi terbentuk dari pemahaman," jelasnya.