Erick mengungkapkan hal ini di acara CNBC Indonesia Award 2020 yang digelar di Auditorium Bank Mega, Desember tahun lalu.
"Tahun 2021 saya pastikan ada dua corporate action besar," kata Erick yang mendapatkan CNBC Indonesia Award sebagai Most Influential Minister dalam acara tersebut.
Mulai terungkap sudah kejelasan dan prosedur aksi korporasi tersebut akhir-akhir ini meskipun tentunya rencana belum final adanya.
Skema penggabungan ketiga perusahaan pembiayaan BUMN ini dilakukan dengan penerbitan saham baru melalui mekanisme rights issue (hak memesan efek terlebih dahulu/HMETD) oleh BBRI.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR secara virtual, Senin (8/2/2021) memaparkan bahwa dalam skenario penggabungan ketiga usaha tersebut BBRI akan menjad iholding-nya.
Nantinya BBRI akan menguasai 99,9% saham Pegadaian dan PNM.
Dalam skema HMETD pemerintah akan mengambil bagian seluruhnya dengan cara mengalihkan saham seri B yang dimiliki negara di Pegadaian dan PNM ke BBRI. Penyetoran seluruh saham seri pada Pegadaian dan PNM akan dilakukan sesuai dengan PP 72/2016 tentang Tata Cara Penyertaan Modal Negara kepada BUMN.
Nilai transaksi korporasi ini akan didasarkan pada penilaian independen KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik) sesuai dengan ketentuan pasar modal dan berdasarkan laporan keuangan pada 31 Desember 2020.
Pertanyaan pertama yang muncul di benak para pelaku pasar tentu saja apakah bijak para investor ikut serta dalam aksi korporasi ini?
Well, mengingat belum lengkapnya informasi mengenai jumlah dan harga rights issue maka pertanyaan tersebut akan susah-susah gampang untuk dijawab. Mengingat harga rights issue akan menjadi faktor penentu baik atau tidaknya penebusan rights.
Tentunya apabila harga penebusan rights tergolong murah maka akan sangat menarik menebus HMETD, akan tetapi apabila tergolong mahal maka menebus hak tersebut menjadi tidak bijak. Akan tetapi dengan asumsi penilaian independen KJPP menghasilkan harga wajar penebusan rights maka sejatinya menebus HMETD BBRI sangatlah menarik.
Hal ini mengingat aksi korporasi ini dinilai bakal menguntungkan semua pihak baik bagi korporasi, pemerintah hingga masyarakat secara luas.
Untuk korporasi, pembentukan holding ini akan membawa setidaknya tiga manfaat utama yaitu peningkatan valuasi dan efisiensi bisnis serta penurunancost of funds. Semangat yang ingin dibangun ialah sinergi antar-BUMN.
Holding ultra-mikro juga membuat struktur BUMN menjadi lebih ramping sehingga diharapkan mampu meningkatkan tata kelola bisnisnya. Selain itu dengan adanya holding diharapkan mampu meningkatkan rasio penyaluran kredit ke UMKM yang jumlahnya mencapai 98% dari total pelaku usaha.
Dengan adanya pembentukan holding diharapkan dapat menggenjot penyaluran kredit ke UMKM.
Berdasarkan target pemerintah dalam RPJMN 2020-2024 target penyaluran kredit ke segmen ini dipatok naik dari 19,75% menjadi 22%.
Sebagai bank yang berfokus pada kredit UMKM, pembentukan holding ini tentunya memberikan prospek yang cerah bagi kinerja perusahaan ke depannya.
Keuntungan datang dari dukungan terhadap arah bisnis BBRI ke depan yakni go smaller, program ini memberikan kredit ke segmen ultra mikro.
Dengan arah ini, maka BRI mengincar porsi pembiayaan UMKM bisa naik ke 85%dari posisi sebelumnya sekitar 80%.
Segmenultra mikro yang masih unbankable atau tidak terjangkau layanan perbankanmemang belum banyak digarap oleh BRI selama ini.
Segmen ini terdiri dari bagian, termasuk productive poor yang diyakini memiliki pangsa pasar sangat besar, namun hanya sangat sedikit bank yang bermaindi Indonesia.
Perlu diingat jumlah masyarakat yang memiliki rekening bank per 2019 hanyalah sebesar 49% dan tentunya angka ini akan terus turun apabila dibagi kembali menjadi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Segmen yang selama ini digarap oleh perusahaan pembiayaan non bank, seperti BUMN Pegadaian maupun PNM sehingga dengan bersinerginya ketiga perusahaan tersebut, gol BBRI untuk merambah pasar ultra mikro akan lebih mudah tercapai.
Dari sisi PNM dan Pegadaian keuntungan yang didapat tentu saja berupa pendanaan dan likuiditas dari Bank sekelas BBRI yang memiliki aset terbesar di Indonesia.
Sebelumnya pendanaan kedua perusahaan hanya bisa diamankan melalui penerbitan obligasi korporasi ataupun pinjaman kepada bank.
Catat saja menurut data Refinitiv saat ini Pegadaian memiliki total Outstanding Bonds senilai Rp 10,8 triliun hingga tahun 2025 di mana lebih dari setengahnya yakni Rp 5,8 triliun akan jatuh tempo tahun depan.
Apalagi ternyata jumlah ini terus meningkat di mana total nilai obligasi jatuh tempo sebelumnya selama 22 tahun terakhir 'hanyalah' Rp 13,42 trilun yang menunjukkan kebutuhan dana Pegadaian dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Hal yang serupa terjadi pula pada PNM. Perseroan memiliki total Outstanding Bonds yang bahkan lebih besar yakni senilai Rp 12,37 triliun hingga tahun 2025, dengan Rp 4,1 triliun akan jatuh tempo tahun depan.
Jumlah kebutuhan PNM akan dana segar juga terus meningkat yang ditunjukkan dengan total nilai obligasi jatuh tempo sebelumnya selama 9 tahun terakhir 'hanyalah' Rp 6,9 triliun
Hal inilah yang tentunya menyebabkan biaya dana atau biasa lebih dikenal dengan sebutancost of fundsperusahaan membengkak dari tahun ke tahun. Tercatat biaya bunga PNM pada tahun 2019 sebesar Rp 1,59 triliun naik hampir dua kali lipat dari posisi tahun sebelumnya di angka Rp 0,99 triliun.
Dengan sinergi antara ketiga perusahaan Pelat Merah ini tentu saja nantinya Pegadaian dan PNM tidak perlu lagi mencari sumber dana segar dan kalaupun ingin menerbitkan obligasi, suku bunga obligasi nantinya bisa ditekan karena memiliki daya tawar lebih tinggi sehinggacost of fundsdapat ditekan.
Tidak heran apabila pascapengumuman aksi korporasi ini, analis-analis sekuritas berbondong-bondong menaikkan target harga saham BBRI.
Refinitiv mencatat per 13 Februari 2021 terdapat empat analis yang menempatkan posisi BBRI sebagai strong buy, 11 yang menempatkan sebagai buy, tiga netral, dan hanya satu yang strong sell sehingga median jatuh di posisi buy dengan rata-rata target harga di angka Rp 4.973/unit atau apresiasi 8,58% dari harga penutupan Jumat lalu di angka Rp 4.580/unit.
Tim Riset CNBC Indonesia berpendapat bahwa target harga tersebut sangat mungkin dicapai paling tidak pada semester kedua tahun ini di mana kemungkinan besar pada periode aksi korporasi dilaksanakan.
Angka tersebut juga tidak jauh dari level tertinggi sepanjang masa BBRI yakni Rp 4.950/unit yang sempat dicapai Januari silam saat kejelasan aksi korporasi diumumkan. Angka ini juga tentu saja dekat dengan level resisten psikologis BBRI di angka Rp 5.000/unit.
Hal ini menyebabkan sangatlah atraktif bagi investor yang ingin menembus hak rights issue-nya tentu saja dengan catatan harga penebusan RI berada di harga wajar.
Oh iya, sebelumnya salah satu sekuritas asal Korea Selatan, PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, sempat memberikan target harga BBRI yakni Rp 5.620.
"Kami mempertahankan rekomendasi Beli kami dengan target harga yang sedikit lebih tinggi menjadi Rp 5.620 (dari Rp 5.580)," tulis analis Mirae Asset, Lee Young Jun, dalam riset per 1 Februari 2021.
Target harga tersebut menyiratkan price to book (P/B) senilai 3,1x dengan estimasi hingga 12 bulan ke depan.
Namun demikian, menurut Murae Asset, terdapat beberapa risiko yang juga dihadapi oleh BRI kendati bisnis perusahaan terus membaik, yakni adanya risiko penghentian paket stimulus pemerintah untuk segmen mikro.
NEXT: Ada Rights Issue BRIS
Tidak hanya BBRI, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) juga akan melaksanakan HMETD. Setelah sebelumnya sukses di aksi korporasi merger antara tiga bank syariah BUMN, kabarnya BRIS akan kembali melakukan aksi korporasi.
Setelah merger tiga bank syariah BUMN, BBRI tak lagi jadi pengendali BRIS melainkan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dengan kepemilikan sebesar 51%.
Komposisi pemegang saham pada lainnya di BRIS adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) 25,0%, DPLK BRI - Saham Syariah 2% dan publik 4,4%. Adapun BBRI hanya memegang 17,4% saham BRIS.
Kementerian BUMN menyebutkan rencana penambahan modal dengan memberikan HMETD atau rights issue dari BRIS akan digelar tahun ini.
Dari penerbitan saham baru ini perusahaan menargetkan bisa mendapatkan dana sebanyak-banyaknya US$ 500 juta atau setara dengan Rp 7 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$) yang kemungkinan besar akan digunakan BRIS untuk modal kerja dalam upaya untuk naik kelas ke bank BUKU IV.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan rights issue ini ditujukan untuk mencari partner strategis perusahaan sekaligus untuk menambah jumlah saham beredar perusahaan (free float).
"Tahun ini akan dilaksanakan rights issue Bank Syariah Indonesia sebagai bagian upaya meningkatkanfree floatdan menemukanstrategic partner," kata Kartika dalam acara Mandiri Investasi Market Outlook 2021, Rabu (10/3/2021).
Sebelumnya, Direktur Utama BSI Hery Gunardi mengatakan bahwa Kementerian BUMN membuka peluang bagi investor asing untuk masuk sebagai investor baru pemilik saham perusahaan melalui Indonesia Investment Authority (INA), dana abadi (Sovereign Wealth Fund/SWF) bentukan Presiden Joko Widodo(Jokowi).
"Perlu dilakukan kajian komprehensif, lihat plus minus, mana yang terbaik untuk perkembangan BSI di masa sekarang dan masa yang akan datang, kita tidak akan gegabah apakah melalui strategic investor atau rights issue," kata dia dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Kamis (4/3/2021).
Hery menyatakan, aksi korporasi tersebut diharapkan akan memberi nilai tambah kepada seluruh pemegang saham perseroan.
"Harapannya yang dilakukan pemegang saham memberikan optimum benefit kepada Bank Syariah Indonesia agar bisa berkembang," ujarnya lagi.
Berbeda dengan BBRI, untuk BRIS tidak banyak sekuritas yang menerbitkan riset mengenai saham BRIS dan target harganya seperti dikutip dari Refinitiv.
Hal ini tentu saja mengingat laporan keuangan tahun 2020 sudah kurang tepat digunakan untuk memprediksi kinerja BRIS ke depannya pascamerger yang menjadikan BSI sebagai bank syariah terbesar di Indonesia dari segi aset, DPK (dana pihak ketiga), maupun pemberian kredit.
Hal ini menyebabkan banyak pelaku pasar masih menanti-nanti laporan keuangan BRIS paling tidak pada kuartal pertama atau bahkan full year 2021 untuk dapat menjustifikasi valuasi BRIS yang sudah tergolong premium serta memprediksi kinerja keuangan BSI dan selanjutnya tentu saja kinerja saham BRIS ke depan.
Akan tetapi pada rights issue edisi ini tentu saja yang menarik diperhatikan adalah siapa yang akan menjadi investor strategis yang akan meminang BRIS, serta lagi-lagi apakah harga penebusan RI atraktif atau tergolong mahal.
Apabila nantinya ada korporasi besar yang masuk langsung dan siap menyokong ekspansi bisnis BSI kedepan maka tentu saja aksi korporasi menjadi lebih atraktif apalagi jika harga penebusan tergolong murah.
TIM RISET CNBC INDONESIA