Jakarta, CNBC Indonesia - Saham emiten rokok PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) mencatatkan kinerja yang kurang menggembirakan sejak awal tahun hingga perdagangan Rabu (10/3/2021).
Adanya aksi lego saham oleh asing dan kinerja keuangan perusahaan yang merosot selama pandemi Covid-19 mengiringi pelemahan harga saham emiten raksasa rokok Tanah Air ini.
Pada perdagangan Rabu (10/3), saham perusahaan yang telah berdiri sejak 1913 ini kembali merosot 0,36% ke Rp 1.400/saham. Praktis, terkoreksinya saham HMSP ini meneruskan tren pelemahan selama 4 hari berturut-turut.
Data BEI mencatat selama sebulan, saham produsen "Raja Kretek" Dji Sam Soe ini tercatat masih tumbuh 0,72%. Tetapi, secara year to date (YTD), saham HMSP sudah jeblok 29,65%.
Penguatan saham HMSP selama sebulan terakhir terjadi seiring dengan adanya aksi beli asing sebesar Rp 40,47 miliar. Namun, secara YTD asing malah ramai-ramai keluar dari saham anak usaha Philip Morris International Inc ini sebesar Rp 14,63 miliar.
Sementara, merujuk pada laporan keuangan terakhir HMSP pada kuartal III 2020, emiten yang melantai di bursa pada Agustus 1990 ini mencatatkan laba bersih mencapai Rp 6,91 triliun, ambles 32,25% dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp 10,20 triliun.
Koreksi laba tersebut terjadi seiring dengan pendapatan yang juga menurun di periode Januari hingga September itu. Pendapatan produsen rokok Sampoerna Mild ini turun 12,55% menjadi Rp 67,78 triliun dari periode yang sama tahun 2019 Rp 77,51 triliun.
Apabila menilik per segmen, sigaret kretek mesin (SKM) masih menjadi andalan HMSP dengan menyumbang 66,81% dari total penjualan bersih pada triwulan III tahun lalu. Kemudian, disusul oleh sigaret kretek tangan (SKT) sebesar 22,67% dan di tempat ketiga sigaret putih mesin (SPM) sebesar 9,64%.
Per September 2020, SKM mencatatkan penjualan bersih Rp 45,28 triliun, turun 17,15% ketimbang pada periode yang sama tahun sebelumnya Rp 54,66 triliun.
Informasi saja, produk SKM HMSP, yakni Sampoerna A (A Mild), yang menjadi andalan di pasar. Kemudian, ada Sampoerna U (U Mild) dan Philip Morris Bold.
Sementara, untuk penjualan SKT, dengan produk andalannya Dji Sam Soe, tercatat naik 9,76% menjadi Rp 15,37 triliun.
Penjualan SPM tercatat ambles 19,92% dari Rp 8,16 triliun menjadi Rp 6,53 triliun. Untuk SPM, HMSP mendistribusikan produk milik induk perusahaan PT Philip Morris Indonesia, Marlboro.
NEXT: Bagaimana Prospek ke depan?
Dalam penjelasan di laporan keuangan, manajemen HMSP mengakui, dampak negatif ekonomi akibat dari Covid-19 dan adanya kebijakan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dari pemerintah telah menyebabkan penurunan daya beli masyarakat dan perubahan prioritas belanja konsumen.
Efeknya berdampak pada penurunan volume industri rokok dan perubahan preferensi rokok konsumen dewasa ke produk-produk yang lebih terjangkau (downtrading) di Indonesia.
"Pandemi Covid-19 juga telah mengakibatkan terganggunya kegiatan operasional perusahaan, seperti adaptasi kegiatan manufaktur, pengadaan barang, periklanan dan promosi, untuk memastikan keselamatan pemangku kepentingan Perusahaan dan mematuhi peraturan pemerintah," tulis manajemen HMSP, dikutip Kamis (11/03/2021).
Selain, dampak pandemi, HMSP dan juga emiten rokok lainnya menghadapi efek kebijakan kenaikan tarif cukai rokok yang sudah resmi berlaku sejak 1 Februari 2021.
Khusus HMSP, produk rokok yang terkena dampak kenaikan tarif cukai adalah jenis SKM dan SPM. Kebijakan ini tampaknya akan mempengaruhi kinerja emiten ini, apalagi mengingat SKM adalah penyumbang pendapatan terbesar perusahaan.
Pada Desember tahun lalu, Presiden Direktur HMSP, Mindaugas Trumpaitis menjelaskan, pada segmen sigaret mesin (SKM dan SPM), Sampoerna akan mengantisipasi tantangan di tahun ini. Hal ini karena kenaikan tarif cukai pada kedua segmen tersebut jauh di atas tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi, masing-masing sebesar 16,9% dan 18,4% untuk SKM Golongan 1 dan SPM Golongan 1.
Dengan begitu, hal tersebut akan memunculkan tren perpindahan pembelian (downtrading) dari segmen rokok dengan tarif cukai yang lebih tinggi dari Golongan 1 ke tarif cukai lebih rendah di Golongan 2 dan 3.
Seperti diketahui, tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok secara resmi mulai berlaku pada 1 Februari 2021. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198/PMK.010/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau
Meski begitu, tidak semua golongan atau jenis rokok dinaikkan tarif cukainya. Hanya jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) yang tarif cukainya naik. Untuk kategori SKM cukainya naik 13,8% - 16,9% tergantung golongan, sementara untuk SPM naik 16,5% - 18,4%.
Market Share Drop
Sementara itu, sang induk, Philip Morris International (PMI) Inc., juga melaporkan penurunan pendapatan di 2020 di tengah pandemi Covid-19. Volume penjualan rokok HMSP pun ikut terpengaruh pada tahun lalu.
Mengacu siaran persnya, PMI mencatatkan pendapatan bersih turun 3,7% menjadi US$ 28,69 miliar atau setara dengan Rp 402 triliun (kurs Rp 14.000/US$) pada 2020 dari 2019 yakni US$ 29,81 miliar.
Adapun laba operasi turun 0,5% menjadi US$ 11,69 miliar atau setara Rp 164 triliun dari tahun sebelumnya US$ 11,76 miliar. Volume penjualan rokok PMI di Indonesia juga anjlok sebesar 19,3% menjadi 79,5 miliar batang rokok dari 98,5 miliar batang rokok pada 2019.
Turunnya volume penjualan ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti "perokok dewasa beralih ke segmen 'di bawah tier satu' yang diuntungkan oleh kebijakan pajak.
Selain itu ada dampak dari peningkatan kesenjangan harga di segmen tier satu (sebagian karena penundaan dalam pemberlakuan harga minimum), dan dampak yang tidak proporsional dari pembatasan mobilitas orang yang lebih ketat di daerah perkotaan, di mana pangsa PMI lebih tinggi," tulis rilis PMI.
Dengan demikian, pangsa pasar (market share) HMSP turun 3,4% menjadi 28,8% dari sebelumnya 32,2%.
Lantas bagaimana rekomendasi sahamnya?
Mirae Asset Sekuritas Indonesia dalam riset pada 23 Februari lalu, memperkirakan pendapatan HMSP pada kuartal IV 2020 naik 8,5% secara QoQ (quarter-on-quarter). Tetapi, raihan tersebut diperkirakan tetap lebih rendah dari periode yang sama 2019.
Saat ini HMSP belum menerbitkan laporan keuangan perusahaan tahunan (full year) 2020.
Mirae Asset memperkirakan kenaikan rerata harga jual atau average selling price (ASP) HMSP 1% secara QoQ pada triwulan IV tahun lalu, dengan kontribusi terbesar dari produk andalannya, A Mild.
Terlepas dari kenaikan ASP tersebut, volume penjualan A Mild meningkat 14,2% QoQ menjadi 9,06 miliar batang di kuartal IV 2020.
"[Ini] berkat target pasar produk yang lebih tangguh karena kondisi ekonomi yang membaik seiring pembukaan kembali ekonomi telah berlangsung, termasuk pengoperasian kembali restoran di Jabodetabek pada Desember, meskipun dalam jam operasional yang lebih pendek," tulis analis Mirae Asset Christine Natasya dalam risetnya, dikutip Kamis (11/3/2021).
Selain itu, pihak Mirae Asset memperkirakan HMSP akan mencatatkan penurunan pendapatan 12,4% secara year on year (YoY) pada kuartal IV tahun lalu. Tetapi raihan tersebut lebih baik dibandingkan dengan perolehan di dua kuartal terakhir, yakni -21,8% YoY pada kuartal II 2020 dan -14,0% YoY di kuartal III 2020.
"Kami mempertahankan perkiraan dan rekomendasi kami [yakni Hold dengan target price Rp 1.450/saham] untuk HMSP. HMSP akan mempublikasikan hasil FY20 yang diaudit bulan depan, tetapi kami berharap tidak ada kejutan pendapatan karena semuanya sudah siap. Meskipun demikian, kami mungkin mengharapkan downtrading lebih lanjut di 2021F; atau, erosi margin yang lebih besar dari perkiraan akan terjadi," tulis Christine.
Mirae juga memprediksi, merek rokok non-unggulan HMSP masih menghadapi persaingan dengan merek yang lebih murah. Di samping itu, penurunan konsumen akan berlanjut pada tahun ini.
"Kami tidak melihat ASP yang lebih tinggi untuk produk non-unggulan Dji Sam Soe, terutama Magnum Mild," jelas Christine.
Mirae memproyeksikan laba bersih HMSP mencapai Rp 2,5 triliun di kuartal IV 2020 atau -28,2% YoY. Proyeksi kumulatif Mirae Asset untuk laba bersih HMSP full year 2020 sebesar Rp 9,4 triliun atau ambles 31,2% YoY.
TIM RISET CNBC INDONESIA