Analisis

Bingung Beli Saham? Ini Deretan Saham di Bawah Seceng Tercuan

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
12 March 2021 07:47
Bank Capital Life (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Bank Capital Life (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah saham-saham di bawah seceng alias Rp 1.000 menunjukkan kinerja yang mentereng selama sebulan terakhir. Beberapa di antaranya merupakan saham-saham bank mini alias bank BUKU II (bank umum dengan modal inti Rp 1-5 triliun).

Harga saham yang terbilang murah, apalagi sebagian di antaranya sedang didorong oleh sejumlah sentimen tertentu termasuk bank digital dan isu akuisisi, tampaknya membuat investor berbondong-bondong mengoleksi saham-saham tersebut.

Lantas, apa saja saham di bawah seceng yang paling cuan dalam sebulan?

Berikut ini daftar sembilan saham dengan kinerja harga tertinggi dalam kurun sebulan terakhir, mengacu data BEI per Selasa (9/3).

Berdasarkan tabel di atas, ada empat saham yang mencatatkan kenaikan harga tertinggi selama sebulan, yakni BGTG, BABP, MARI dan FREN. Dari jumlah itu, dua di antara keempat saham tersebut merupakan bank bermodal mini alias bank BUKU II.

NEXT: Cek Analisisnya

Bank Ganesha (BGTG)

BGTG menjadi saham dengan lonjakan harga tertinggi selama sebulan terakhir. Saham bank yang resmi melantai di bursa pada Mei 2016 silam ini sudah terbang 261,64% dalam sebulan. Sementara, secara year to date (YTD) atau sejak awal tahun hingga perdagangan Selasa (9/3), saham bank mini ini dengan harga Rp 264/saham ini sudah meroket 428,00%.

Akibat kenaikan harga yang signifikan akhir-akhir ini, otoritas bursa tercatat sudah dua kali mensuspensi atau mengehentikan sementara perdagangan saham BGTG dalam dua minggu terakhir.

Teranyar, saham bank yang mulai beroperasi sejak 1992 ini 'digembok' bursa sejak Rabu pekan lalu (3/3). Tetapi, menurut keterbukaan BEI per Selasa (9/3), BGTG sudah diperbolehkan lagi beraktivitas di bursa mulai Rabu (10/3).

Setelah dua kali disuspensi bursa, BGTG melakukan paparan public alias public expose (PE) insidentil pada Jumat pekan lalu (5/3).

Dalam PE insidentil tersebut, manajemen BGTG menjawab sejumlah pertanyaan terkait perusahaan, termasuk mengenai isu bank digital yang santer beredar akhir-akhir ini.

Pihak BGTG menjelaskan, perusahaan belum memiliki rencana untuk menjadi bank digital saat ini.

"Namun sejak tahun 2018 Bank Ganesha telah melakukan transformasi digital untuk memudahkan nasabah dalam melakukan transaksi seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan perliaku nasabah," kata manajemen BGTG dalam tanggapannya, Jumat (5/3).

BGTG memang tengah mempersiapkan sejumlah transformasi digital, seperti QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), Cardless Withdrawal alias tarik tunai tanpa kartu, dan layanan online onboarding.

BGTG juga telah bekerjasama dengan sejumlah perusahaan fintech (financial technology).

Mengenai isu pemenuhan modal inti, BGTG berkomitmen untuk memenuhi syarat modal inti sesuai dengan penyampaian Rencana Bisnis Bank (RBB) kepada OJK (Otoritas Jasa Keuangan) pada November tahun lalu. Modal bank tahun ini minimal Rp 2 triliun dan tahun depan Rp 3 triliun.

Total aset BGTG naik sebesar 10,41% pada Desember tahun lalu (tidak diaudit/unaudited) menjadi Rp 5,3 triliun, dari Rp 4,8 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Penyaluran kredit, anjlok sebesar 11,78% menjadi senilai Rp2,63 triliun pada Desember 2020.

Dana Pihak Ketiga (DPK) BGTG pada 31 Desember 2020 juga naik 13,88% menjadi Rp 4,1 triliun, dari Desember 2019 Rp 3,6 triliun.

Lalu, pendapatan bunga bersih perusahaan menjadi Rp 171 miliar pada akhir tahun lalu, turun 10,93% dari Rp 192 miliar pada Desember 2019.

Sementara persentase net interest margin (NIM) turun 0,83% menjadi 3,77% pada Desember tahun lalu, dari sebelumnya sebesar 4,60%.

Selain itu, persentase kredit bermasalah alias NPL nett naik 1,8%, dari 1,06% menjadi 2,86% pada akhir tahun 2020.


Bank MNC (BABP)

Saham bank MNC Group ini juga terus melejit sebesar 118% selama sebulan. Bahkan, secara YTD saham bank milik Pengusaha Hary Tanoesoedibjo ini juga melesat 118%.

Saham seperti BGTG dan sejumlah bank mini lainnya, BABP dihadapkan dengan sejumlah pertanyaan mengenai bank digital dan aturan penambahan modal inti oleh OJK.

Sebelumnya, dalam menanggapi isu bank digital, pihak manajemen BABP menjelaskan kepada pihak otoritas bursa pada Jumat (5/3), perseroan akan terus melakukan digitalisasi proses dan layanan perbankan sehingga mampu bersaing dengan kompetitor serta menjawab kebutuhan nasabah.

Mengenai aturan pemenuhan modal inti, pihak BABP akan melakukan penambahan modal sesuai dengan ketentuan POJK 12/2021 dan diharapkan selesai dalam batas waktu yang ditentukan OJK.

Selain itu, BABP mengaku, aturan POJK tersebut tidak berdampak terhadap kelangsungan usaha perusahaan serta kegiatan operasional perseroan.

"Berlakunya POJK 12/2020 justru diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi dunia perbankan pada umumnya dan perseroan pada khususnya, melalui penguatan struktur demi ketahanan dan daya saing industri perbankan," tulis manajemen BABP dalam keterangannya, Jumat (5/3).

Dalam materi PE insidentil perusahaan yang diterbitkan di website BEI, Rabu (9/3), pihak manajemen memaparkan impelementasi strategi perusahaan pada 2021. Pertama, mengenai akusisi dana murah dengan Tabungan Dahsyat.

Strategi tersebut membuat volume Tabungan per Februari 2021 menjadi Rp 1,05 triliun, naik 74,42% dari posisi September 2020 sebesar Rp 606 miliar. Seiring dengan hal tersebut, rasio dana murah alias CASA (Current Account Saving Account) naik sebesar 6,87% menjadi 23,37% pada bulan lalu.

Implementasi stategi kedua, yakni membangun platform digital lewat "Motion". Menurut penjelasan BABP, pengembangan teknologi informasi (TI) bertujuan untuk mewujudkan ekosistem digital banking yang beroritentasikan kebutuhan nasabah serta efisiensi proses perbankan.

Motion ini sendiri sudah diluncurkan pada Agustus tahun lalu. Rencananya, platform ini akan berubah dari mobile banking menjadi digital banking pada tahun ini. Pihak BABP akan mengajukan izin layanan digital banking ke OJK pada bulan April mendatang.

Dalam laporan keuangan Bank MNC Internasional per 30 September 2020, laba bersih  sebesar Rp 1,36 miliar, turun 67,46% dari tahun sebelumnya Rp 4,18 miliar.

Total liabilitas Rp 9,31 triliun, naik 2,92% dari Rp 9,04 triliun pada periode yang sama 2019.

Sementara, total ekuitas turun 2,03% dari Rp 1,56 triliun pada 30 September 2019, menjadi Rp 1,53 triliun pada periode yang sama 2020.

Adapun total aset naik tipis 2,19% menjadi Rp 10,84 triliun dari sebelumnya Rp 10,61 triliun pada 30 September 2019.

Rasio Net Interest Margin (NIM) BABP naik menjadi 4,29%, dari 4,12% pada 30 September 2019. Untuk Non Performing Loan (NPL) Nett membaik atau turun dari 4,11% pada kuartal-III 2019 menjadi 3,49% pada kuartal III 2020.

Mahaka Radio (MARI)

Saham emiten anak usaha Mahaka Group ini tercatat melonjak 114,04% selama sebulan. Secara YTD pun saham MARI sudah melesat 46,11%.

Kinerja MARI terus melesat, meski emiten ini tercatat mengalami rugi bersih per kuartal III tahun lalu.

Asing pun tercatat ramai-ramai mengoleksi saham ini. Selama sebulan aksi beli bersih asing sebesar Rp 3,30 miliar, sementara per YTD asing memborong Rp 4,09 miliar.

Menurut laporan keuangan unaudited per 30 September 2020, MARI mencatatkan rugi bersih tahun berjalan sebesar Rp 15,47 miliar.

Padahal, pada 2019, MARI ini mencatatkan laba bersih tahun berjalan sebesar Rp 22,46 miliar.

Total liabilitas perseroan Rp 106,53 miliar, turun 10,56% dari Rp 119,11 per 31 Desember 2019.

Sementara, total ekuitas pada 30 September 2019 sebesar Rp 222,48 miliar turun 6,5% dari posisi Rp 237,95 miliar per 31 Desember 2019.

Adapun total aset perusahaan per 30 September 2020 Rp 334,02 miliar turun 8,52% dari Rp 365,13 miliar per 31 Desember 2019.

Smartfren (FREN)

Saham telekomunikasi FREN juga 'berlari kencang' 54,39% selama sebulan terakhir. Meskipun, apabila menilik secara YTD, saham ini ambrol 20%.

Namun, saham emiten Grup Sinarmas ini sudah melesat 76% dalam 1 tahun dan 72,55% dalam 3 tahun belakangan.

Kenaikan harga saham FREN ini menarik, di tengah kerugian perusahaan yang sudah terjadi setidaknya selama 12 tahun terakhir.

Harga saham FREN yang murah, di bawah Rp 100, tampaknya menjadi salah satu alasan investor mengoleksi saham ini.

Apabila melihat rasio PBV (price to book value), saham ini terbilang wajar, yakni 1,87 kali. Lebih kecil dibandingkan saham 'halo-halo' lainnya seperti Telkom Indonesia (TLKM) sebesar 3,20 kali dan Indosat (ISAT) sebesar 2,56 kali.

PBV adalah metode valuasi yang membandingkan nilai buku suatu emiten dengan harga pasarnya. Semakin rendah PBV biasanya perusahaan akan dinilai semakin murah. Secara Rule of Thumb, PBV akan dianggap murah apabila rasionya berada di bawah angka 1 kali.

Selain itu, isu merger dengan XL Axiata (EXCL) yang dimulai setidaknya sejak dua tahun lalu mungkin ikut mendorong kenaikan harga saham ini.

Pihak FREN sendiri tercatat sudah beberapa kali membantah isu tersebut. Terbaru, pada 8 Januari tahun ini dalam penjelasna tertulis kepada BEI, Sekretaris Perusahaan James Wewengkang menjelaskan, perusahaan tidak dapat mengklarifikasi kebenaran atas berita mengenai kemungkinan merger FREN dan XL.

FREN baru saja melaporkan kinerja tahunan yang masih membukukan rugi Rp 1,52 triliun di 2020. Ini artinya, sudah 12 tahun atau sejak 2008, FREN tak pernah mencatatkan "angka biru" pada kinerja laba bersih.

Rugi bersih tersebut sedikit membaik dari tahun 2019 yakni Rp 2,18 triliun.

Hanya saja, meski merugi, prospek bisnis FREN terbuka lebar dengan penetrasi digitalisasi dan industri telekomunikasi yang terus bertumbuh di tengah pandemi Covid-19.

Tahun lalu, FREN juga mencatatkan pendapatan usaha Rp9,40 triliun, naik 34,63% dari tahun 2019 Rp 6,98 triliun.

Terbaru, FREN berencana menambah modal dengan skema hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue. Perseroan bakal menerbitkan saham baru sebanyak 7 miliar saham dalam penawaran umum terbatas (PUT) IV, dengan harga pelaksanaan Rp 120/saham.

Berbarengan dengan rights issue, perseroan juga akan menerbitkan waran sebanyak 91,99 miliar waran atau sekitar 34,9% modal disetor.

Rencananya, FREN akan menggunakan seluruh dana hasil rights issue maupun pelaksanaan waran yang mencapai Rp 10 triliun, setelah dikurangi dengan biaya-biaya emisi, untuk pembayaran pinjaman dan/atau modal kerja perseroan dan/atau entitas anak perseroan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular