Triple Hit Combo! IHSG, Rupiah, Obligasi Jatuh Semua

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 March 2021 17:55
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia 'rontok' hari ini. Indeks Harga Saham Gabungan, nilai tukar rupiah, sampai harga obligasi pemerintah terkoreksi.

Pada Selasa (9/3/2021), IHSG ditutup di 6.199,65, melemah 0,78% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Investor asing membukukan jual bersih Rp 740,97 miliar di pasar reguler.

Pelemahan IHSG terjadi kala indeks saham utama Asia dan tren menguat. Selain IHSG, hanya bursa China dan Korea Selatan yang merah.

Pasar obligasi pemerintah juga tidak lepas dari tekanan. Imbal hasil (yield) surat utang seri acuan tenor 10 tahun naik 6 basis poin (bps) menjadi 6,817%. Kenaikan yield menandakan harga Surat Berharga Negara (SBN) menandakan harga instrumen ini sedang turun karena kurang peminat atau terpapar tekanan jual.

Tidak hanya yang tenor 10 tahun, yield SBN tenor lain juga sebagian besar naik. Berikut perkembangan yield SBN berbagai tenor pada penutupan perdagangan hari ini:

Tekanan di pasar saham dan obligasi, yang menandakan arus modal sedang seret, membuat rupiah melemah. Di perdagangan pasar spot, mata uang Tanah Air terdepresasi 0,28% dan berada di Rp 14.390/US$.

Posisi terkuat rupiah hari ini ada di Rp 14.380/US$ sementara terlemahnya adalah Rp 14.470/US$. Rupiah hampir menyentuh level psikologis Rp 14.500/US$.

Koreksi di pasar keuangan Indonesia tidak lepas dari perkembangan di AS. Setelah habis-habisan dihajar oleh pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), ekonomi Negeri Adidaya pulih dengan relatif cepat. Berbagai data memberi konfirmasi akan hal tersebut.

Terbaru adalah data perdagangan internasional. US Census Bureau melaporkan, nilai impor AS pada Januari 2021 adalah US$ 191,9 miliar, tertinggi sejak Februari 2020. Pembukaan kembali aktivitas masyarakat (reopening) membuat proses produksi berangsur pulih sehingga output industri AS meningkat pesat dan mampu memenuhi permintaan dunia.

Sementara impor tercatat US$ 260,2 miliar, juga tertinggi sejak Februari 2020. Menariknya, peningkatan impor didorong oleh barang konsumsi dan kendaraan bermotor. Artinya permintaan domestik AS semakin membaik, daya beli rakyat mulai pulih.

Geliat ekonomi ini pada saatnya nanti tentu akan menciptakan tekanan inflasi. Jika laju inflasi mulai terakselerasi, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) tentu tidak akan tinggal diam. The Fed akan mencoba meredam inflasi dengan mengetatkan kebijakan moneter, misalnya dengan menaikkan suku bunga acuan.

"Kalau kemudian suku bunga betul-betul naik karena optimisme terhadap prospek pertumbuhan ekonomi, maka itu sebenarnya hal yang positif," ujar Tom Hainlin, Global Investment Strategist di Ascent Private Wealth Group yang berbasis di Minneapolis (AS), seperti dikutip dari Reuters.

Kenaikan suku bunga acuan akan membuat instrumen berbasis dolar AS, terutama aset berpendapatan tetap seperti obligasi, akan menawarkan imbalan yang semakin tinggi. Ekspektasi Federal Funds Rate bisa naik lebih cepat dari perkiraan (tidak 2023) ini yang membuat investor berkerumun di pasar keuangan AS dan meninggalkan negara berkembang, termasuk Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular