
Trio INCO-TINS-ANTM Suram? Tesla Cari Nikel ke Negara Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Trio saham emiten pertambangan nikel yakni PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Timah Tbk (TINS), dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) ambles parah dan menduduki 3 besar top losers pada perdagangan pekan lalu yang berakhir Jumat (5/3/2021).
Penyebab utama ketiga saham nikel tersebut menjadi top losers yakni pelemahan harga nikel acuan dunia pada pekan lalu. Selain itu, ada kabar Tesla, perusahaan mobil listrik milik Elon Musk, memutuskan membeli nikel dari Kaledonia Baru.
Di posisi pertama diduduki oleh saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) yang ambrol hingga 15,23% selama sepekan. Saham INCO sendiri ambrol 6,79% ke level Rp 5.150/unit dan langsung menyentuh level ARB-nya pada penutupan perdagangan Jumat (5/3/2021) akhir pekan lalu.
Data perdagangan mencatat nilai transaksi saham INCO sepekan telah mencapai Rp 1,1 triliun. Selama sepekan, investor asing masih melepas saham INCO di pasar reguler sebanyak Rp 95,15 miliar. Namun di pasar negosiasi dan tunai, investor asing masuk ke saham INCO sebanyak Rp 1,84 miliar pada pekan lalu.
Berikutnya di posisi kedua terdapat saham PT Timah Tbk (TINS) yang juga ambrol hingga 14,86% pada pekan lalu. Adapun saham TINS ditutup stagnan di level Rp 1.890/unit pada perdagangan akhir pekan lalu.
Tercatat nilai transaksi saham TINS pada pekan lalu mencapai Rp 1,4 triliun. Tak seperti saham INCO, investor asing masih memborong saham TINS sebanyak Rp 12,29 miliar pada pekan lalu.
Adapun saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) pada pekan lalu ambles hingga 14,79% ke posisi Rp 2.380/unit pada pagi hari ini. Sedangkan pada akhir pekan lalu, saham ANTM ditutup melemah 3,97%.
Nilai transaksi saham ANTM sepekan sudah mencapai Rp 4,8 triliun. Seperti saham INCO, investor asing juga melepas saham ANTM di pasar reguler sebanyak Rp 46,28 miliar pada pekan lalu.
Saham nikel selama ini menguat karena sentimen positif pengembangan mobil listrik. Namun pada pekan lalu, kabar buruk menerpa dari pasar komoditas, di mana harga nikel kontrak 3 bulan di London Metal Exchange (LME) sempat terjun ke angka US$ 16.191/ton pada Kamis (4/3/2021) lalu.
Penurunan sebesar 9,3% ini juga terjadi pada nikel pembelian langsung yang turun menjadi US$ 16.144/ton dari harga sebelumnya US$ 17.802/ton.
Koreksi harga di LME juga ikuti harga nikel di bursa Shanghai yang turun 9% ke 122.040 yuan/ton pada hari yang sama. Itu merupakan level terendah sejak 9 Desember 2020.
Reuters melaporkan penurunan harga nikel pekan ini terjadi karena Tsingshan Holding Group, raksasa nikel dan stainless steel asal China, memutuskan memproduksi nikel matte dalam skala besar di Indonesia untuk menurunkan kekhawatiran terkait suplai nikel di tengah persaingan dengan penggunaan nikel untuk keperluan baterai.
Ada dua jenis nikel yang dikenal di pasaran: bahan stainless steel (kelas II) dan bahan baterai mobil listrik (kelas I). Menurut DBS, permintaan nikel kelas I akan tumbuh 5,9% setiap tahunnya hingga 2025. Untuk periode yang sama, pasokan nikel kelas I hanya tumbuh 3,3%.
Tesla Inc memutuskan menjadi mitra teknis di tambang nikel guna mengamankan pasokan untuk pembuatan baterai lithium-ion untuk mobil listriknya.
Perusahaan milik Elon Musk ini juga akan membeli nikel dari tambang Goro di pulau kecil Pasifik Kaledonia Baru untuk mengamankan pasokan jangka panjang. Langka ini diambil di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang pasokan nikel di masa depan.
Kaledonia Baru adalah produsen nikel terbesar keempat di dunia. Tahun lalu harga komoditas ini mengalami kenaikan harga sebesar 26%. Kaledonia Baru adalah salah satu negara jajahan Prancis.
"Nikel adalah perhatian terbesar kami untuk meningkatkan produksi sel lithium-ion," kata Elon Musk di twitternya, mengutip BBC, Senin (7/3/2021).
Cadangan nikel Kaledonia Baru yang besar sangat penting bagi perekonomian lokal, dan tambang Goro, di selatan pulau, berpotensi menjadi salah satu penghasil nikel terbesar di dunia.
Sebelumnya ada 26 Februari lalu, pemilik pabrikan mobil listrik Tesla Inc., Elon Musk mengeluarkan keresahannya dalam sebuah cuitan di Twitter bahwa model standard Tesla siap berpaling menggunakan kotada besi, dikarenakan suplainya yang melimpah.
Tesla berpotensi akan mengalihkan sumber bahan baku baterai untuk Model 3 Standard Range ke tipe lain, yakni menggunakan baterai tipe LFP atau baterai Lithium Iron Phosphate.
Bos Tesla dan SpaceX ini pun mendorong agar para pemasok nikel untuk menambang lebih banyak logam mineral itu untuk produksi baterai kendaraan listriknya.
"Nikel menjadi perhatian terbesar kami dalam meningkatkan produksi baterai lithium-ion," cuit Elon.
"Itulah mengapa kami beralih menggunakan katoda berbahan besi [baterai Lithium Iron Phosphate] pada mobil listrik [Tesla Model 3] tipe Standard Range. Alasannya karena jumlah bahan baku besi dan lithium sangat melimpah."
Sebagai informasi, selama ini baterai untuk mobil listrik terbagi dalam beberapa tipe di antaranya baterai lithium NCA (Nickel Cobalt Aluminum Oxide), Lithium NMC (Nickel Manganese Cobalt Oxide), dan lithium LFP (Lithium Iron Phosphate) atau dikenal sebagai baterai lithium besi fosfat yang menggunakan LiFePO sebagai bahan katoda.
Dari sisi perbedaan, beberapa literatur teknologi mencatat perbedaan ketiganya baik NCA, NMC, maupun LFP ada pada kapasitas voltase yang dihasilkan.
Baterai jenis NCA memiliki material nikel yang mendominasi dibanding material lainnya, sementara di NMC hampir merata, dan komposisi LFP adalah Lithium, Iron, dan Phosphat. Persentase kandungan nikel dalam NCA bisa mencapai 88%, NMC berkisar 33%.
Selain itu, Tesla juga siap membangun fasilitas katoda milik sendiri. Juli tahun lalu Musk mengatakan bahwa ia siap menyediakan kontrak jumbo jangka panjang kepada penambang yang mampu menyupai nikel secara bekelanjutan.
Hal ini ia lakukan karena ongkos mahal pembuatan baterai mobil listrik, yang biayanya akan membengkak apabila Tesla gagal mengamankan rantai pasokan.
Drew Baglino, salah satu eksekutif di industri manufaktur Tesla mengatakan perusahaan berencana untuk menambang sendiri logam untuk kebutuhan baterai mereka.
"Kami akan mulai membangun fasilitas katoda milik sendiri di Amerika Utara [AS dan Kanada], memanfaatkan seluruh sumberdaya nikel dan litium yang terdapat di Amerika Utara," kata Baglino yang menjabat SVP Powertrain and Energy Engineering di Tesla ini.
Baglino menambahkan dengan melakukan hal tersebut dan melokalkan pasokan dan produksi katoda, Tesla akan mengurangi jarak tempuh material katoda hingga 80%, yang mana ongkosnya luar biasa mahal.
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Saham TINS-ANTM Ngamuk, tapi INCO Galau & Ambles