
Harga Minyak Bakalan Bisa Tembus US$ 70/Barel?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah sedang jaya-jayanya. Ketika pandemi Covid-19 belum benar-benar bisa dijinakkan, harga minyak mentah justru sudah pulih. Bahkan harga 'emas hitam' sudah berada di zona positif.
Dalam sepekan ini harga kontrak futures (berjangka) Brent naik 4,9%. Sementara itu harga kontrak minyak acuan Amerika Serikat (AS) yakni West Texas Intermediate (WTI) melesat lebih tinggi sebesar 7,5%.
Harga kontrak Brent bahkan hampir menyentuh level US$ 70/barel. Pada perdagangan terakhir di minggu ini, harga emas hitam jenis Brent sudah berada di US$ 69,36/barel. Sepanjang tahun ini harga Brent naik hampir 34%. Apabila dibandingkan dengan harga tahun lalu Brent telah melesat 38,75%.
Untuk kontrak WTI terakhir harganya dipatok di US$ 66,09/barel. Di tahun ini minyak mentah yang juga dikenal sebagai lightsweet ini naik 36%. Sempat terjatuh ke teritori negatif untuk pertama kalinya dalam sejarah, harga minyak WTI naik 44% dalam setahun terakhir.
Dua bank investasi Wall Street yakni Morgan Stanley dan Goldman Sachs sebelumnya meramal harga minyak terutama Brent bakal tembus US$ 70/barel. Tak lama setelah laporan tersebut dirilis kini harga minyak semakin dekati level tersebut.
Faktor pemicu kenaikan harga minyak lebih diakibatkan oleh aspek pasokan yang defisit. Selain itu, vaksinasi Covid-19 di berbagai negara yang terus berjalan membuat para spekulan dan big money bertaruh terhadap 'emas hitam' dengan mengambil posisi beli (long) terhadap kontrak minyak.
Pasar juga menyambut positif keputusan para kartel yang tergabung dalam OPEC+ yang memilih untuk mempertahankan status pemangkasan produksi. OPEC+ telah memangkas produksi sebesar 9,7 juta barel per hari (bph) tahun lalu karena penurunan permintaan akibat pandemi.
Sampai Maret, OPEC+ masih menahan sekitar 7 juta bph atau setara dengan 7% dari permintaan dunia. Pemotongan produksi secara sukarela yang dilakukan oleh Arab Saudi membuat total pemotongan output kelompok ini menjadi sekitar 8 juta bph.
Berdasarkan kesepakatan Kamis, Rusia diizinkan untuk meningkatkan produksi sebesar 130.000 bph pada bulan April dan Kazakhstan sebesar 20.000 bph lagi untuk memenuhi kebutuhan domestik.
"Semua orang (lainnya) akan mempertahankan pemangkasan tersebut," kata Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman saat konferensi pers untuk menguraikan kesepakatan itu.
Dia mengatakan Arab Saudi akan memutuskan dalam beberapa bulan ke depan kapan akan secara bertahap menghentikan pemotongan produksi secara sukarela sebesar 1 juta bph pada waktu yang sesuai. OPEC+ mengatakan bahwa pemulihan permintaan untuk saat ini masih rapuh.
Berdasarkan laporan OPEC, permintaan minyak Februari lalu mencapai 93,3 juta bph. Sementara itu pasokan minyak global mencapai 91,8 juta bph. Sehingga defisit pasokan di pasar sebesar 1,3 juta bph.
Selain karena keputusan OPEC+, produksi minyak AS yang terhambat akibat terdampak cuaca dingin ekstrem juga diantisipasi oleh pasar. Texas yang merupakan wilayah dengan produksi minyak terbesar di AS mengalami gangguan produksi karena infrastruktur yang membeku dan minimnya pasokan listrik.
Akibatnya kurang lebih sebanyak 10% dari total output minyak Paman Sam berkurang. Aktivitas produksi minyak mentah dan kilang diperkirakan bakal pulih dalam waktu kurang lebih dua pekan.
Kombinasi sentimen positif terkait vaksinasi, prospek ekonomi 2021 yang lebih baik dan defisit pasokan akibat kebijakan OPEC+ dan fenomena alam membuat harga 'emas hitam' bisa tembus rekor tertinggi dalam satu tahun terakhir.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Awal Tahun Harga Minyak Naik, tapi Ada Kabar Buruk dari OPEC