Krisis 2008 vs Pandemi, Bagaimana Pergerakan Saham BNI?

Yuni Astutik, CNBC Indonesia
05 March 2021 22:42
BNI Laporkan Penebar Dokumen Palsu (dok: BNI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis pernah terjadi pada 2008-2009 bisa kembali terulang akibat pandemi Covid-19, dimana akibat virus corona pola hidup seluruh masyarakat di seluruh dunia benar-benar berubah.

Meski berbeda, nyatanya pandemi Covid-19 berhasil melumpuhkan perekonomian. Direktur Pelaksana World Bank (Bank Dunia) Mari Elka Pangestu misalnya, yang mengatakan pandemi Covid-19 telah memberikan tekanan yang sangat luar biasa kepada perekonomian di seluruh dunia. Tak terkecuali Indonesia.

"Kali ini jika kita kontraksi 2%, kita butuh 1% di bawah potensi atau 4%. Untuk dua hingga tiga tahun ke depan, mungkin kita perlu waktu hingga lima tahun untuk mengembalikan situasi seperti pre-Covid-19," ujarnya beberapa waktu lalu.

Bahkan, dia memandang situasi krisis ekonomi karena Covid-19 saat ini sama seperti krisis ekonomi dan moneter pada 1998. Indonesia saat itu memerlukan waktu delapan tahun untuk bisa pulih lagi.

Oleh karena itu, menurut dia sangat penting untuk melakukan perubahan dan transformasi agar ekonomi bisa bangkit. Pasalnya, krisis kesehatan dan krisis ekonomi karena pandemi Covid-19 ini, juga berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia berada di bawah level fundamentalnya untuk jangka waktu bertahun-tahun.

Krisis yang terjadi pada 2008-2009 terpaksa memporak porandakan lembaga keuangan dan korporasi, termasuk industri perbankan Indonesia. Saat itu, IHSG anjlok ke level psikologis 1.800 menjadi 1.719,25, atau anjlok 4,7% pada September 2008.

Sejak krisis subprime mortgage melanda IHSG anjlok lebih dari 60% dari posisi tertinggi 2008 di 2.830 hingga posisi terendah 1.111. Sementara itu secara year to date 2008, IHSG anjlok lebih dari 50% hingga menyentuh 1.355,41 pada 31 Desember 2008.

Industri perbankan ikut merasakan imbas dari krisis ini termasuk BNU. Pada masa yang sama, saham BNI pun harus terlempar dari level Rp 1.071/saham hingga menyentuh Rp 393/saham pada 24 November 2008. Saham BNI, terdepresiasi 72,6% hanya dalam 2 bulan.

Kondisi ini berlanjut hingga memasuki 2009, dimana sejak awal tahun hingga pertengahan tahun saham BNI bergerak di kisaran Rp 600-900/saham.
Namun, pasca Mei 2009, saham BNI bergerak di atas level Rp 1.000 dan perlahan-lahan bangkit dan hampir menyentuh Rp 2.000 per saham.

Kemudian, saham BNI kembali "pulih" dan kembali bergerak di kisaran Rp 2.000/saham pada Maret 2010, dan bangkit ke level Rp 3.081/saham pada Agustus. Di penghujung tahun 2010 pun BNI mencapai level tertinggi sejak krisis menghantam yakni Rp 4.700/saham.

Artinya sejak menyentuh titik terendah, BNI bisa menanjak 1.127% dan membalikkan posisinya dalam periode 2 tahun, serta tidak lama setelah krisis berakhir pada 2009.



Selanjutnya, krisis yang terjadi akibat pandemi juga membuat pergerakan IHSG anjlok cukup dalam. Kala itu, pada Maret 2020 IHSG sempat berada di titik terendahnya yaitu 3.937. Kini, pelan tapi pasti IHSG beranjak naik dan sudah kembali menembus level lebih dari 6.000 bahkan pada perdagangan Selasa (2/3) berada di level 6.338.

Hal yang sama terjadi pada saham BNI. Pada awal 2020, saham BNI masih kuat di level Rp 7.850, namuh harus terkoreksi dalam hingga menyentuh Rp 3.160 pada 24 Maret 2020. Namun hanya hitungan bulan, saham BBNI sudah rebound lagi ke level Rp 6.000 atau peningkatan hampir 2 kali lipat.

Covid-19 nyatanya mampu memporak porandakan perekonomian. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 minus 2,07 (yoy). Bahkan, Perekonomian Indonesia diproyeksi masih terkontraksi pada kuartal I-2021 sebesar 0,25 hingga 1%. Ini tak lepas dari kondisi pandemi covid-19 yang belum juga berhasil ditangani.

"Kalau bicara Q1 (pertumbuhan ekonomi), kontraksi tidak terelakkan. Saya meyakini Q1 masih akan negatif, karena kita masih mengalami pandemi dan kita melakukan PPKM, maka aktivitas sosial ekonomi itu akan terbatas," demikian disampaikan oleh oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah.

Hal ini berpengaruh juga ke penyaluran kredit perbankan masih saja lesu. Pertumbuhan kredit terus mengalami pertumbuhan negatif (kontraksi) selama lima bulan beruntun.

Bank Indonesia (BI) melaporkan penyaluran kredit pada Januari 2021 adalah Rp 5.399,1 triliun. Turun 2,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).

Head of Market Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan, bisnis BNI memang terdampak pandemi, namun bukan berarti BNI tak punya prospek.

"Sebagai bank buku IV di Indonesia, modal BNI masih kuat. Ketika ekonomi membaik, BNI pasti akan ikut membaik kinerjanya," ujarnya kepada CNBC Indonesia di Jakarta, Rabu (3/3/2021).

Soal harga saham, BNI memang sempat mengalami penurunan. Namun menurutnya, seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia, perbankan akan menjadi penopang utama termasuk BNI.

"Menurut saya, dalam jangka pendek, dengan kinerja lebih baik, Saham BBNI bisa berada di level Rp 6.500 per saham," pungkasnya.


(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kinerja Cemerlang, BNI Terus Didorong Go Internasional

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular