Semesta Mendukung, Kenapa Rupiah Sulit Sekali Menguat?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 March 2021 17:00
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (3/3/2021). Meski demikian penguatan tersebut tidak dicapai dengan mudah, rupiah sempat stagnan dalam waktu yang cukup lama, bahkan juga sempat melemah.

Melansir data Refinitiv, rupiah pada hari ini menguat 0,42% ke Rp 14.240/US$ di pasar spot. Meski berhasil menguat, tetapi rupiah masih belum jauh dari level terlemah dalam 4 bulan terakhir. Rupiah masih terus melemah meski banyak faktor yang mendukung penguatan belakangan ini.

Minat pelaku pasar terhadap rupiah semakin membaik, hal tersebut tercermin dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.

Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

Hasil survei terbaru yang dirilis hari ini, Kamis (27/2/2021), menunjukkan posisi long pelaku pasar terhadap rupiah meningkat dibandingkan survei sebelumnya.

Nilai posisi long untuk rupiah saat ini -0,51%, naik dari hasil survei sebelumnya -0,36%, dan menjadi kenaikan pertama setelah menurun dalam 5 survei beruntun.

Berkaca dari survei sepanjang tahun lalu, yang konsisten dengan pergerakan rupiah, maka peluang rupiah untuk kembali menguat sebenarnya terbuka cukup lebar.

Selain itu, transaksi berjalan (current account) Indonesia juga masih mencatat surplus di kuartal IV-2020 lalu. Bank Indonesia (BI) pada Jumat (19/2/2021) lalu melaporkan di kuartal IV-2020, current account membukukan surplus US$ 0,8 miliar atau setara 0,3% dari Produk Domestik Bruto. Lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu surplus US$ 1 miliar atau 0,4% PDB.

Transaksi berjalan sudah mengalami defisit sejak tahun 2011, dan baru mencatat surplus lagi di kuartal III-2020 dan berlanjut di kuartal selanjutnya.

Current account menjadi faktor yang penting dalam menentukan arah rupiah, sebab menggambarkan arus devisa yang lebih stabil. Kala transaksi berjalan surplus, maka rupiah punya modal untuk menguat, begitu juga sebaliknya ketika defisit akan menjadi sentimen negatif bagi Mata Uang Garuda.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kenaikan Yield Treasury Tekan Rupiah

Jika melihat ke belakang, rupiah mulai melemah sejak 16 Februari lalu, atau ketika yield obligasi (Treasury) AS mulai melesat naik. Sejak saat itu hingga saat ini rupiah melemah 2,66%, sementara yield Treasury melesat naik 20,86 basis poin ke 1,4086% pada hari ini.

Pada pekan lalu, yield Treasury bahkan menyentuh 1,6140% menjadi level tertinggi sejak Februari 2020 atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) belum membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%.

Kenaikan tersebut berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, sebab selisih yield dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit. Ketika terjadi capital outflow, maka nilai tukar rupiah akan tertekan.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, kepemilikan asing atas obligasi Indonesia terus mengalami penurunan semenjak yield Treasury mengalami kenaikan tajam.

Pada 16 Februari lalu, kepemilikan asing atas obligasi Indonesia mencapai Rp 992,91 triliun, sementara pada 1 Maret lalu sebesar Rp 967,97 triliun. Artinya terjadi capital outflow dari pasar obligasi nyaris 25 triliun selama periode tersebut.

Alhasil, rupiah menjadi kesulitan menguat meski semesta mulai mendukung.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Yield Treasury dan Taper Tantrum

Kenaikan yield Treasury yang dilatarbelakangi prospek pertumbuhan ekonomi yang serta inflasi kemungkinan menanjak, apalagi serangkaian data ekonomi AS dirilis bagus belakangan ini.

Pertumbuhan ekonomi AS diprediksi akan meroket di kuartal I-2021. Perangkat GDPNow milik Federal Reserve (The Fed) Atlanta menunjukkan PDB di kuartal I-2021 akan tumbuh 10%. Kalkulasi perangkat tersebut menggunakan data-data ekonomi AS terbaru, sehingga di awal kuartal prediksinya cenderung volatil, dan akan semakin akurat mendekati akhir kuartal.

Kuartal I-2020 kini tersisa kurang dari 30 hari lagi, sehingga prediksi GDPNow semakin akurat.

Beberapa data ekonomi AS yang dirilis belakangan ini memang apik. Aktivitas manufaktur di AS yang kembali meningkatkan ekspansi. Institute for Supply Management (ISM) di awal pekan ini melaporkan aktivitas manufaktur yang tercermin dari purchasing managers' index (PMI) naik menjadi 60,8 di bulan Februari, dari bulan sebelumnya 58,7.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atasnya berarti ekspansi sementara di bawahnya berarti kontraksi.

Angka indeks 60,8 merupakan yang tertinggi dalam 3 tahun terakhir. Laporan dari ISM tersebut menguatkan ekspektasi PDB AS di kuartal I-2021 akan tinggi, para ekonom juga memberikan prediksi yang serupa.

Tidak hanya di kuartal I saja, momentum pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan akan berlanjut sepanjang 2021, sehingga menunjukkan kurva V-shape.

"Pemulihan PDB dengan kurva V-shape akan tetap seperti itu di semester pertama tahun ini dan akan kemungkinan akan berlanjut hingga akhir tahun," kata Ed Yardeni dari Yardeni Research dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International, Selasa (2/3/2021).

"Namun tidak akan ada lagi 'pemulihan' setelah kuartal I sebab PDB riil sudah pulih di 3 bulan pertama tahun ini. Oleh karena itu, nantinya akan menjadi 'ekspansi' PDB di rekor tertinggi," tambahnya.

Bangkitnya perekonomian AS bahkan terjadi sebelum stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun dikucurkan pemerintah AS. Hal tersebut memicu perdebatan apakah masih diperlukan stimulus dengan nilai sebesar itu, dikhawatirkan malah akan terjadi lonjakan inflasi, salah satu pemicu kenaikan yield obligasi (Treasury) belakangan ini yang memicu kecemasan akan kemungkinan terjadi taper tantrum.

"Terlalu banyak hal bagus akan menjadi berlebihan, perekonomian saat ini sedang panas dan akan semakin panas akibat stimulus fiskal dan moneter yang jumbo," kata Yardeni.
Rancangan undang-udang (RUU) stimulus fiskal US$ 1,9 triliun sudah disetujui oleh House of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) AS dan saat ini berada di Senat.

Partai Demokrat di Senat berusaha meloloskan RUU tersebut pada pekan depan dan diserahkan ke Presiden Joseph 'Joe' Biden agat ditandatangani sebelum tanggal 14 Maret, saat stimulus fiskal yang ada saat ini berakhir.

Ketika stimulus tersebut cair, maka jumlah uang yang beredar di perekonomian akan meningkat dan inflasi berisiko meroket.

Hal tersebut masih diantisipasi pelaku pasar, sehingga yield Treasury masih cukup tinggi saat ini. Selain itu pelaku pasar mengantisipasi kemungkinan The Fed mengurangi nilai program pembelian obligasi dan surat berharga lainnya (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering.

Berkaca dari pengalaman sebelumnya di tahun 2013, tapering dapat memicu gejolak di pasar finansial global atau dikenal dengan istilah taper tantrum.

Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak ketua The Fed saat itu, Ben Bernanke mengumumkan tapering pada Juni 2013, nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Oleh karena itu, pelaku pasar masih cenderung berhati-hati yang membuat rupiah sulit untuk menguat.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular