Sentimen Pasar Pekan Depan

"Hantu" Yield Treasury Gentayangan di Pasar Keuangan RI?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 February 2021 20:02
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Republik Indonesia (RI) bervariasi sepanjang pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat penguatan tipis, rupiah terpuruk, dan pasar obligasi mayoritas juga melemah. Yield obligasi (Treasury) Amerika Serikat (AS) yang terus menanjak menjadi "hantu" bagi pasar finansial RI.

Melansir data Refinitiv, IHSG sepanjang pekan ini naik 0,16% ke 6.241,796. Data perdagangan mencatat sepanjang pekan ini investor asing melakukan aksi beli bersih senilai lebih dari 1 triliun di pasar reguler, dengan nilai transaksi mencapai Rp 81 triliun.

IHSG seharusnya bisa menguat lebih tajam seandainya yield Treasury tidak melesat di pekan ini. Kenaikan yield tersebut membuat bursa saham AS (Wall Street) jeblok, yang turun menyeret IHSG pada perdagangan Jumat.

Sementara itu, nilai tukar rupiah merosot tajam 1,28% melawan dolar AS ke Rp 14.240/US$. Dengan pelemahan tersebut, rupiah mencatat kinerja mingguan terburuk dalam 7 bulan terakhir. Rupiah kini juga berada di level terlemah tahun ini, bahkan jika melihat lebih ke belakang sejak awal November lalu.

Dari pasar obligasi, hanya Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 dan 25 tahun yang menguat. Hal tersebut tercermin dari penurunan yield-nya, itu pun sangat tipis masing-masing 0,01 basis poin. Sementara tenor yang lainnya melemah cukup tajam.

Untuk diketahui, harga obligasi berbanding terbalik dengan yield, ketika harga turun maka yield akan naik, sebaliknya ketika harganya naik maka yield akan turun. Ketika harga obligasi turun, berarti para investor tengah melepas kepemilikannya.

Kenaikan yield Treasury menyebabkan ketakutan di pasar finansial. Sepanjang pekan ini, yield Treasury AS tenor 10 tahun sempat naik 17 basis poin ke 1,515% yang merupakan level tertinggi sejak awal Februari 2020 atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan sebelum bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%.

Kenaikan pesat yield Treasury dalam waktu singkat ini diakibatkan pasar melihat perekonomian AS membaik dan inflasi kemungkinan akan naik. Ketika inflasi naik, investor obligasi tentunya melihat yield yang rendah akan merugikan, sehingga melepas kepemilikannya, alhasil yield menjadi menanjak.

Kenaikan yield Treasury yang dilatarbelakangi prospek pertumbuhan ekonomi yang serta inflasi kemungkinan menanjak, juga berarti pelaku pasar mengantisipasi kemungkinan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/ QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering.

Tapering merupakan salah satu hal yang ditakutkan, sebab berkaca dari pengalaman sebelumnya memberikan dampak yang besar di pasar finansial termasuk Indonesia. Saat itu dikenal dengan istilah taper tantrum.

Pergerakan yield Treasury masih akan menjadi penggerak utama pasar finansial global termasuk Indonesia pekan depan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> DPR AS Loloskan Paket Kebijakan Fiskal US$ 1,9 Triliun

House of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) AS pada Sabtu (27/2/2021) pagi waktu setempat sudah meloloskan Rancangan Undang-Undang kebijakan fiskal senilai US$ 1,9 triliun, dan kini diserahkan ke Senat AS.

"Kini, Rancangan Undang-Undang sudah diserahkan ke Senat AS, saya berharap mereka akan bertindak cepat. Kita tidak perlu membuang waktu," kata Presiden AS Joseph 'Joe' Biden, sebagaimana dilansir CNBC International, Sabtu (27/2/2021).

"Jika kita bertindak sekarang - tegas, cepat dan berani, kita akhirnya akan bisa mengatasi virus (Covid-19) ini. Kita pada akhirnya akan menggerakkan perekonomian lagi," tambah Biden.

Berbeda dengan DPR AS yang dikuasai Partai Demokrat, Senat AS kini sama kuat. Partai Demokrat dan Partai Republik sama-sama memiliki 50 kursi. Sehingga rancangan undang-undang (RUU) tidak akan lolos dengan mulus.

RUU tersebut diharapkan lolos sebelum 14 Maret, sebelum stimulus fiskal yang ada saat ini berakhir. Lolosnya RUU tersebut akan menjadi kabar bagus, sebab roda perekonomian di AS akan berputar lebih kencang.

Tetapi di sisi lain, pemulihan ekonomi yang lebih cepat tentunya membuat ekspektasi inflasi akan semakin menanjak, dan yield Treasury berpotensi melesat naik lagi. Pasar keuangan global akan kembali dihantui tapering.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Perhatikan Data Sektor Manufaktur dan Inflasi Indonesia

Pada pekan depan, sebagaimana awal bulan seperti biasanya akan banyak rilis data ekonomi. Senin (1/3/2021) besok akan dirilis data aktivitas sektor manufaktur Indonesia, serta data inflasi.

Pada 1 Februari lalu, IHS Markit melaporkan aktivitas manufaktur Indonesia yang dicerminkan oleh Purchasing Managers Index (PMI) periode Januari 2021 berada di 52,2. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 51,3 sekaligus menjadi yang tertinggi dalam 6,5 tahun terakhir.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi, dan di atas 50 berarti ekspansi.

"Sektor manufaktur Indonesia masih berada di jalur pemulihan pada awal 2021. Produksi industri dan pesanan baru (new orders) meningkat ke posisi tertinggi. Tren ini akan mendorong kepercayaan diri pelaku usaha," kata Andrew Harker, Economics Director IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

Yang lebih bagus lagi, ekspansi sektor manufaktur masih terjadi saat ada Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali.

Jika ekspansi sektor manufaktur berlanjut di bulan Februari bahkan bisa lebih tinggi lagi tentunya akan memberikan dampak positif di pasar RI.

Selain itu, besok akan dirilis data inflasi. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi Februari 2021 adalah 0,08% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM). Sementara dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY) adalah 1,36%.

Jika konsensus tersebut tepat, artinya inflasi di Indonesia akan semakin melambat, sebab di bulan sebelumnya tercatat sebesar 0,26% MtM, dan 1,55% YoY. Melambatnya inflasi bisa berarti daya beli masyarakat yang masih rendah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular