Bos The Fed Belum Mau Ubah Kebijakan, Pasar tak Percaya?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 February 2021 13:20
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell  (AP Photo/Steven Senne)
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Steven Senne)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian Amerika Serikat (AS) masih jauh dari kata pulih dari kemerosotan akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Oleh karena itu, bantuan dari kebijakan moneter longgar masih diperlukan. Hal tersebut diungkapkan bos bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell, dalam testimoninya di hadapan Komite Perbankan Senat, Kongres AS, Selasa kemarin.

Meski demikian, pelaku pasar sepertinya bebal dan masih belum percaya kebijakan moneter longgar The Fed akan dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Hal tersebut terindikasi dari pergerakan aset-aset berisiko yang masih belum mampu mulus ke zona hijau lagi.

Bursa saham AS (Wall Street) bervariasi pada perdagangan Selasa waktu setempat, sementara bursa saham Asia masuk ke zona merah.

The Fed saat ini menerapkan kebijakan suku bunga rendah 0,25%, dan masih akan dipertahankan hingga 2 tahun ke depan. Hal tersebut tercermin dari data dari Fed Dot Plot, yang menggambarkan proyeksi suku bunga para pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee), menunjukkan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.

Selain itu, ada juga kebijakan pembelian aset atau yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE) nilainya mencapai US$ 120 miliar per bulan.

Sejak pandemi Covid-19 melanda, The Fed sudah mengucurkan QE sekitar 3,3 triliun. Hal tersebut tercermin dari nilai balance sheet The Fed yang kini mencapai US$ 7,56 triliun, dibandingkan posisi awal Maret 2020 lalu US$ 4,24 triliun.

Kebijakan tersebut terbilang sangat agresif, sebab saat krisis finansial melanda AS di tahun 2008 The Fed juga melakukan hal yang sama. Nilai Balance Sheet juga melonjak US$ 3 triliun, tetapi terjadi dalam tempo 3 tahun hingga 2011.

Semakin besar QE yang digelontorkan maka balance sheet The Fed akan membengkak. 

"Perekonomian AS masih jauh dari target inflasi dan pasar tenaga kerja kami, dan kemungkinan memerlukan waktu cukup lama untuk mendapatkan kemajuan yang substansial," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (24/2/2021).

Powell menegaskan The Fed berkomitmen untuk menggunakan instrumen moneter secara penuh untuk mendukung perekonomian, serta membantu memastikan pemulihan ekonomi hingga sekuat mungkin.

Sejak akhir tahun lalu, The pendekatannya terhadap inflasi. Sebelumnya, The Fed menetapkan target inflasi 2%, ketika inflasi mendekati target The Fed biasanya akan mengetatkan moneter. Kini bank sentral paling powerful di dunia ini menetapkan target inflasi rata-rata 2%. Yang digaris bawahi adalah kata "rata-rata"

"Dengan perubahan tersebut, kita tidak akan mengetatkan kebijakan moneter meski pasar tenaga kerja sudah menguat," kata Powell.

Artinya, meski inflasi nanti mencapai 2%, The Fed tidak akan langsung merubah kebijakannya, tetapi membiarkannya lebih tinggi dari 2% dalam beberapa waktu ke depan. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai rata-rata inflasi 2%, sebab inflasi saat ini masih jauh di bawahnya.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Stimulus Fiskal Bikin Pasar Masih Yakin Inflasi Akan Melesat

Yield obligasi (Treasury) AS belakangan ini terus melesat naik, yang membuat bursa saham kesulitan menguat, mata uang emerging market seperti rupiah juga dalam tekanan.
Yield Treasury tenor 10 tahun sudah berada di level tertinggi sejak Februari 2020, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi.

Meski demikian, hari ini yield tersebut turun 2,9 basis poin ke 1,3348%

Salah satu penyebab kenaikan yield tersebut adalah inflasi di AS yang diperkirakan akan meroket, sebab dengan The Fed yang masih membanjiri perekonian dengan likuditas, pemerintah AS juga berencana menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun.

Ketika itu terjadi, jumlah uang tunai yang beredar akan semakin bertambah, dan inflasi berisiko melesat.

Stimulus senilai US$ 1,9 triliun akan menjadi yang terbesar kedua sepanjang sejarah AS, setelah US$ 2 triliun yang digelontorkan pada bulan Maret 2020 lalu.

House of Representative (DPR) AS akan melakukan voting terhadap proposal stimulus senilai US$ 1,9 triliun tersebut di pekan ini. Jika berhasil disetujui, maka proposal tersebut selanjutnya akan diserahkan ke Senat.

Stimulus tersebut diharapkan bisa cair sebelum pertengahan Maret, dimana stimulus fiskal yang ada saat ini akan berakhir.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular