Menguat di Kurs Tengah BI, Rupiah Kini di Bawah Rp 14.100/US$

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 February 2021 10:15
Ilustrasi Dollar Rupiah
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia)

Faktor eksternal menjadi pendorong penguatan rupiah. Satu, dolar AS memang sedang lemas. Pada pukul 09:21 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,15%.

Jadi dolar tidak hanya KO di Asia, tetapi di level dunia. Wajar saja rupiah dkk di Asia bisa menyalip.

Dua, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS akhirnya turun. Pada pukul 09:23 WIB, yield US Treasury Bond tenor 10 tahun berada di 1,345, turun 1,9 basis poin (bps).

Beberapa hari terakhir, tren kenaikan yield obligasi pemerintah AS menjadi biang keladi gonjang-ganjing di pasar keuangan negara berkembang. Yield yang semakin tinggi akan membuat investor tertarik untuk menempatkan uang di surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden sehingga aset keuangan di negara berkembang mengalami tekanan jual.

Namun kini tren kenaikan yield terhenti. Penyebabnya adalah pernyataan Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome 'Jay' Powell. Dalam pidato di hadapan Komite Perbankan Senat, Powell menegaskan bahwa pemiluhan ekonomi masih belum merata dan jauh dari kata selesai.

"Ekonomi kita masih jauh dari penciptaan lapangan kerja yang maksimal dan target inflasi. Sepertinya butuh waktu untuk mencapai kemajuan yang lebih berarti. Jalan menuju pemulihan ekonomi sangat bergantung kepada perkembangan pandemi dan upaya pencegahan penyebaran virus (corona)," jelas Powell, seperti dikutip dari Reuters.

Oleh karena itu, Powell menegaskan kebijakan moneter akan tetap akomodatif. Suku bunga akan tetap rendah dan pembelian surat berharga senilai US$ 120 miliar per bulan masih akan dilanjutkan.

"Kebijakan moneter saat ini akomodatif dan akan tetap akomodatif. Setidaknya sampai ada tanda yang jelas bahwa kita sudah mencapai kemajuan yang signifikan, yang saat ini belum terlihat," ungkap Powell.

Suku bunga rendah yang mungkin akan bertahan cukup lama akan membuat imbalan berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) akan ikut rendah. Artinya, ke depan sulit berharap yield obligasi pemerintah AS bakal naik signifikan.

Perkembangan ini membuat arus modal ke pasar obligasi pemerintah AS mulai surut. Investor kembali berburu aset-aset keuangan di negara berkembang yang memberi iming-iming cuan lebih besar. Situasi yang tentu menguntungkan bagi rupiah cs di Asia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular