
Saham Cuan Atau Rugi Pekan Depan? Persenjatai Diri Dengan Ini

Pekan depan, pasar perlu mencermati sentimen yang dapat mempengaruhi pergerakan bursa saham acuan global (Wall Street).
Ada setidaknya tiga sentimen yang dapat mempengaruhinya, yakni perkembangan stimulus, laporan keuangan emiten, dan pengumuman risalah rapat bank sentral AS (The Federal Reserve) terkait inflasi dan suku bunga.
"Pasar menanti seberapa besar paket stimulus. Ini sangat penting. Demokrat bisa merealisasikannya lewat rekonsiliasi," kata Quincy Krosby, analis dari Prudential Financial kepada CNBC.
Krosby mengatakan Demokrat bisa meloloskan RUU tersebut melalui mayoritas sederhana, daripada harus negosiasi untuk mencapai kesepaktan bipartisan dengan Republikan.
Pasar tadinya mengantisipasi paket stimulus yang disetujui bakal berada di kisaran US$1 triliun, lebih rendah dari yang diinginkan Presiden Joe Biden sebesar US$ 1,9 triliun.
Namun, tampaknya Republikan mulai menghangat dan pada akhirnya, pasar memperkirakan stimulus akan ada di tengah di angka US$ 1,5 triliun.
Voting RUU Stimulus direncanakan 22 Februari dan bisa diundang-undangkan awal Maret.
Pengesahan RUU Stimulus diperkirakan juga bakal meningkatkan inflasi. The Fed mengatakan masih menoleransi inflasi di atas target 2%. Inflasi tahunan ada di 1,4% pada Januari lalu.
Pasar juga menantikan data perumahan. Asosiasi Nasional Pembangunan Rumah akan meluncurkan indeks pasar properti pada hari Rabu, diikuti oleh data penjualan rumah dan perizinan bangunan dari pemerintah pada hari Kamis. Asosiasi Realtor Nasional akan mengumumkan data penjualan rumah pada hari Jumat depan.
Pada hari Kamis, DPR AS akan melakukan rapat dengar pendapat terkait fenomena saham GameStop dan short sell. CEO Robinhood, Melvin Capital dan Citadel adalah beberapa nama yang akan dipanggil.
Selain dari sentimen dari Negeri Paman Sam, sentimen lainnya berupa perilisan data ekonomi penting juga perlu dicermati oleh pasar.
Di hari pertama pekan depan (15/2/2021), Jepang akan merilis data pertumbuhan ekonominya. Ekonomi Jepang diprediksi akan mengalami kontraksi yang jauh lebih besar dari yang diperkirakan pada kuartal I-2020, berdasarkan polling dari Reuters.
Pembatasan sosial yang masih berlangsung di Negeri Sakura untuk menahan pandemi Covid-19, pendapatan perusahaan dan konsumsi rumah tangga anjlok.
Melansir Reuters, Jumat (12/2/2021) mayoritas analis keputusan untuk melanjutkan Olimpiade di Tokyo, hanya akan berdampak kecil pada ekonomi. Meskipun sebagian besar proyek konstruksi besar telah selesai, tapi jumlah penonton diperkirakan mungkin terbatas.
Ekonomi terbesar ketiga di dunia ini diperkirakan akan kotraksi 5,0% secara tahunan pada kuartal I-2021, berdasarkan survei yang dilakukan 1-10 Februari, terhadap 37 ekonom. Angka ini kontraksi ini dua kali lipat lebih besar dari kontraksi sebesar 2,4% yang diproyeksikan bulan lalu.
Penurunan peringkat ini sebagian besar disebabkan oleh keputusan pemerintah pada bulan Januari untuk memberlakukan pembatasan baru guna memerangi lonjakan infeksi di Tokyo dan beberapa prefektur lainnya.
"Dengan keadaan darurat, belanja konsumen yang lemah terbukti menjadi penghambat utama pertumbuhan," kata kepala ekonom di Norinchukin Research Institute, Takeshi Minami.
"Ekonomi diperkirakan akan pulih pada kuartal kedua dan tumbuh setelahnya, tetapi dengan kecepatan yang moderat karena pandemi tetap menjadi risiko," ujarnya.
Analis memperkirakan ekonomi Jepang menyusut 5,3% pada tahun fiskal saat ini yang berakhir pada Maret sebelum berkembang naik 3,6% pada tahun berikutnya.
Di lain sisi, setelah ekonomi Inggris pada tahun 2020 menunjukkan kontraksi sebesar 9,9%, pada pekan depan juga Inggris akan merilis tingkat inflasinya untuk periode Januari 2021.
Trading Economics memperkirakan inflasi Inggris pada Januari 2021 turun menjadi 0,4% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sedangkan secara bulanan (month-on-month), diperkirakan inflasi Inggris juga turun menjadi -0,5% pada Januari 2021.
Sebelumnya, perekonomian Inggris dilaporkan mengalami kontraksi sebesar 9,9% untuk tahun 2020. Kontraksi perekonomian ini merupakan dampak dari pandemi Covid-19 yang merusak aktivitas ekonomi.
Dilaporkan CNBC, menurut Office for National Statistics, produk domestik bruto (PDB) tumbuh sebesar 1% pada kuartal terakhir 2020.
Ini disebabkan karena pemerintah memutuskan untuk memberlakukan kembali pembatasan wilayah (lockdown) secara nasional karena naiknya jumlah kasus aktif virus corona (Covid-19).
Angka kontraksi ini lebih rendah dari prediksi ekonom yang disurvei oleh Refinitiv yang memperkirakan penurunan tahunan 8% dengan ekspansi kuartal keempat 0,5%.
Selain itu pula, rilis data indeks manager pembelian (Purchasing Manager' Index/PMI) manufaktur untuk periode Februari 2021 di beberapa negara juga akan dirilis pada pekan depan.
(chd/roy)